BAHASA PUISI DAN KAITANNYA DENGAN LICENTIA
POETICA
Nurhayati
Abstrak
Ada hubungan antara
bahasa puisi dan licentia poetica.
Licentia poetica dapat diartikan sebagai adanya dispensasi bagi sastrawan
(penyair) untuk memilih cara penyampaian pengalaman batinnya. Penyair dapat
memilih cara penyampaian dengan tiga cara yaitu sebagai berikut. Pertama,
mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional. Kedua, penyair
memanfaatkan potensi bahasa secara kreatif namun masih dalam batas konvensi
bahasa. Ketiga, penyair menyimpang dari konvensi bahasa yang berlaku. Apapun
cara penyampaian yang dilakukan pada dasarnya bertujuan memunculkan efek
tertentu yang tidak diperoleh dengan cara lainnya. Dapat saja penyair
menggunakan salah satu cara dari ketiga cara tersebut atau dua dari ketiga cara
itu atau bahkan ketiga-tiganya digunakan dalam sebuah puisi. Yang jelas, licentia poetica berhubungan dengan
bahasa yang digunakan oleh penyair tersebut.
Kata-Kata Kunci: bahasa, puisi, licentia
poetica
Pendahuluan
Puisi disusun dengan menggunakan
bahasa. Bahasa dalam puisi dapat dianalogikan seperti gerak dan irama pada seni
tari, garis dan bidang pada seni lukis, serta nada dan irama pada seni musik.
Karena puisi disusun dengan bahasa maka dapat dikatakan tanpa bahasa tidak ada
puisi. Dengan berpatokan kepada pernyataan bahwa tanpa bahasa tidak ada puisi
maka suatu karya tidak dapat dikategorikan ke dalam puisi bila tidak
menggunakan bahasa. Opini tentang pengklasifikasian suatu karya termasuk puisi
atau tidak ini pernah bergulir ketika puisi kontemporer khususnya yang
mementingkan wujud fisik (puisi kongkret) sedang marak. Salah satu yang paling
menonjol ketika itu ialah pembicaraan terhadap klarifikasi apakah “puisi” yang
hanya terdiri atas garis-garis (kotak) termasuk ke dalam puisi. Jika ia
termasuk ke dalam genre puisi, bagaimana memaknainya?
Pada satu sisi, ada yang teguh
berpendapat bahwa jika tidak menggunakan bahasa, sebuah karya, walaupun
“diakui” puisi oleh penciptanya, karya tersebut bukanlah puisi karena sudah bertentangan
dengan hakikat puisi itu sendiri yang bermediumkan bahasa. Dengan bahasalah
orang dapat memaknainya. Akan tetapi, sejalan dengan arus kontemporer kala itu
maka ada yang beranggapan kotak-kotak
yang diakui puisi tersebut termasuk puisi.
Akhirnya, puisi-puisi kongkret yang minus bahasa itu tenggelam karena
sulit atau, bahkan untuk sebagian besar orang,
tidak dapat dimaknai karena memang tidak ada bahasa sebagai
mediumnya.
Perdebatan terhadap keberadaan
“puisi” kotak tersebut terjadi karena pada dasarnya penyair “berlindung” dengan licentia poetica. Dengan
mengatasnamakan licentia poetica orang
dapat menciptakan sebuah karya sastra yang ke luar dari konvensi yang berlaku
termasuk konvensi bahasa sebagai medium karya sastra itu sendiri. Pada sisi lain, ada yang tetap teguh memegang
bahasa sebagai medium sastra.
Sementara itu, disadari pula bahwa
bahasa yang digunakan di dalam puisi berbeda dengan bahasa yang terdapat pada
bidang-bidang nonsastra. Perbedaan tersebut menjadikan bahasa puisi memiliki
ciri tersendiri yang tidak dipunyai oleh bahasa di bidang lainnya. Tulisan ini
berusaha mengungkapkan bahasa puisi dan kaitannya dengan licentia poetica atau kebebasan sastrawan/penyair yang pada
gilirannya akan mempengaruhi cara penyampaian penyair tersebut.
Bahasa Puisi
Cummings dan Simmons (1986:vii)
menyatakan bahwa terdapat perbedaan khusus antara teks-teks tertentu, antara
teks sastra dan teks nonsastra. Bagaimanapun karya sastra memiliki pola-pola
dan sifat-sifat khusus serta keberadaannya bergantung kepada pemolaan bahasa
yang digunakan sebagai bahan dasar.
Ada anggapan bahwa pemakaian bahasa
pada karya sastra mengandung unsur style,
sesuatu yang tidak netral, ke arah menyalahi “tata bahasa.” Pandangan ini
melihat adanya dua pemakaian bahasa pada karya sastra, yang “berbeda” dan
“tidak berbeda” (marked vs unmarked). Yang tidak berbeda, yang
lebih sedikit, ternyata memberi warna kepadanya. Ia menjadi dominan (Junus,
1981:27).
Pernyataan tersebut sejalan dengan
pernyataan Teeuw (1991:4) yaitu karya sastra di satu pihak terikat kepada
konvensi, tetapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk
mempermainkan konvensi itu, untuk memanfaatkannya secara individual; malahan
untuk menentangnya walaupun dalam penentangan itu pun pengarang masih terikat.
Penentangan terhadap konvensi tersebut menurut Teeuw, disebabkan keterpaksaan
demi nilai karyanya sebagai hasil seni. Penyimpangan tersebut sering disebut defamiliarisasi atau deotomatisasi; istilah yang pertama-tama
dipakai oleh Victor Shklovsky. Yang biasa, yang normal, yang otomatis dibuang,
yang dipakai harus khas, aneh, menyimpang, luar biasa.
Sementara itu, Leech dalam Widdowson
(1975:222) menggunakan istilah foregrounding.
Ia menyatakan “by foregrounding
is meant the deliberate deviation from the rules of the language code or from
the accepted convention of its use which stands out, or is foregrounding,
against a background of normal use.” Jadi, foregrounding
adalah penyimpangan terhadap kaidah-kaidah suatu bahasa, penyimpangan yang
melawan penggunaaan normal yang disengaja pengarang. Tentang masalah
penyimpangan tersebut, Sudjiman (1993:17) mengungkapkan bahwa penyimpangan itu
menarik perhatian pembaca. Karena sifatnya inkonvensional, jadi tampak menonjol
dan dirasakan sebagai norma bahasa dan
terus menerus dilakukan pengarang supaya tidak
menjadi sesuatu yang otomatis atau konvensional. Pradopo (1993:vi) lebih khusus mengacu kepada puisi, yang mempunyai
sifat, struktur, dan konvensi-konvensi sendiri. Oleh karena itu, untuk
memahaminya perlu dimengerti dan dipelajari konvensi-konvensi dan struktur
puisi tersebut.
Aminuddin (dalam Nurhadi, 1978:90)
mengungkapkan bahwa apabila dalam komunikasi lisan keseharian penutur lazimnya
mengutamakan kejelasan isi tuturan, dalam komunikasi sastra isi tuturan justru
disampaikan secara terselubung. Untuk mempertegas pernyataan tersebut Aminuddin
mengutip pendapat penyair Abdul Hadi yng menyatakan “Puisi harus berkomunikasi
secara tidak langsung dengan pembaca, karena puisi bukan percakapan sehari-hari,
melainkan percakapan batin.”
Agak berbeda dengan pandangan di
atas, Atmazaki (1993:70) mengisyaratkan bahwa pada dasarnya puisi tetap
mematuhi kaidah tata bahasa karena mediumnya adalah bahasa. Sebuah pemikiran
atau pengalaman dalam puisi tidak akan menjadi sesuatu yang utuh tanpa struktur
bahasa yang tepat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, penyair sering melanggar
kaidah atau struktur bahasa tersebut.
Aminuddin (lihat Nurhadi,
1987:92--93) mengungkapkan bahwa dalam bahasa sastra pada dasarnya terkandung
dua sistem, yakni sistem primer sebagai sistem yang berkaitan dengan bahasa
natural, dan sistem sekunder, yaitu sistem kode bahasa sastra itu sendiri yang
dikembangkan dengan bertumpu pada sistem primernya. Becker (1978:2) menyebut
sistem primer sebagai hubungan linear dan sistem sekunder sebagai hubungan
tidak linear. Menurutnya dari hubungan tidak linear tersebut (paradigmatis)
akan muncul gejala metafora. Misalnya Aku
ini binatang jalang (Chairil Anwar), selain menggunakan materi bahasa yang
memiliki pola kalimat yang lazim digunakan dalam natural seperti Aku ini mahasiswa teladan, tetapi
ditinjau dari sistem sekundernya, baris puisi Chairil tersebut menunjukkan
adanya kekhasan, yang selain dapat dilihat dari adanya paduan bunyi antar
katanya, juga ditunjukkan oleh adanya pemenggalan sehingga larik, dari kumpulannya terbuang tidak ditulis dalam satu baris. Selain itu,
bahasa puisi, dalam konvensi sekundernya menunjukkan pemadatan, pelesapan,
pengayaan makna, pola persajakan ataupun paduan bunyi, dan variasi penataan
hubungan sintagmatik.
Licentia
Poetica
Kebebasan penyair untuk
memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi dalam istilah kesusastraan dikenal
sebagai licentia poetica. Yang
dimaksud dengan licentia poetica ialah
kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau
aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki (Shaw, 1972:291;
Sudjiman, 1993:18). Pada sisi lain Sudjiman menyatakan bahwa licentia kurang tepat jika diterjemahkan
sebagai “kebebasan”, tetapi mungkin lebih tepat “kewenangan”. “Kebebasan”
memiliki konotasi “semau-maunya”, sedangkan “kewenangan” bermakna “ada
ke-sah-an.” Dengan demikian, menurut Sudjiman (1993:18) licentia poetica adalah kewenangan yang diberikan oleh masyarakat
(atau oleh dirinya sendiri? Pengarang) kepada sastrawan untuk memilih cara
penyampaian gagasannya dalam usaha menghasilkan efek yang diinginkan.
Istilah licencia poetica tersebut menyiratkan adanya semacam dispensasi
bagi penyair untuk tidak mematuhi norma kebahasaan. Tentulah penyimpangan
pemakaian bahasa dari norma tata bahasa tersebut harus memperhitungkan
tercapainya nilai kepuitisan. Dengan perkataan lain, penyimpangan dari
norma-norma tata bahasa tersebut hendaknya dalam rangka pencapaian nilai-nilai
kepuitisan, nilai kepadatan ucapan (Alisjahbana, 1984:46--47).
Sejalan dengan pendapat tersebut,
Widdowson (1975:27) mengemukakan bahwa penyimpangan linguistik tersebut tidak
terjadi secara acak dalam sebuah karya sastra tetapi berpola dengan
gejala-gejala linguistik yang lain, baik yang teratur maupun tidak untuk
membentuk keseluruhan. Oleh sebab itu, penyimpangan-penyimpangan tersebut harus
dipahami tidak hanya merujuk kepada sistem linguistik atau kode tetapi juga
dengan konteks tempat kemunculannya.
Bahasa Puisi dan Kaitannya dengan Licentia
Poetica
Apakah terdapat hubungan antara
bahasa puisi dengan licentia poetica? Ada
dua pendapat yang berbeda terhadap pandangan tersebut. Pada satu sisi, Junus
(1981:9) tampaknya kurang setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa bahasa
puisi, yang berbeda dari bahasa nonpuisi, dikaitkan dengan licentia poetica. Menurutnya
orang terlalu mencari-cari adanya kaitan antara licentia poetica dengan struktur bahasa puisi yang keluar dari
konvensi. Ia beranggapan bahwa bahasa memiliki sistemnya sendiri dan penyair
terpaksa mengikuti sistem bahasa. Dengan demikian, unsur bahasa tidak dapat
diperlakukan sesuka hati. Bahasa tunduk kepada sistemnya sendiri. Hal ini
dibuktikannya lewat analisis larik puisi Chairil berikut.
Chairil bukan menyalahi aturan
kebahasaan ketika menulis Tambah ini
menanti jadi mencekik. Ini menanti sengaja digunakan Chairil walaupun
struktur tersebut dianggap kurang baik dan lebih banyak digunakan oleh orang bukan Melayu. Struktur ini menanti sama dengan ini buku. Chairil terpaksa menggunakan ini menanti daripada ia mengucapkan sesuatu yang salah. Tambah ini menanti jadi mencekik. Larik
tersebut diartikan Junus sebagai berikut. Tambah sesuatu (X) maka menanti jadi
mencekik. Sementara itu apabila larik Tambah ini menanti jadi mencekik diubah
menjadi Tambah menanti ini jadi mencekik akan
bermakna sudah ada sesuatu (X) tambah menanti (Y) ini maka jadi mencekik.
Dari analisis di atas dapat
diketahui bahwa Chairil sengaja menggunakan bentuk ini menanti untuk mengungkapkan
idenya bukan sekedar menyelewengkan konvensi bahasa. Lalu bagaimana dengan
puisi “Isa” yang di dalamnya terdapat bentuk Itu tubuh dan bahkan di
dalam puisi “Hampa” itu pada larik terakhir terdapat bentukan
ini sepi. Bagaimana kita
menjelaskan fenomena yang demikian, apakah Chairil terdesak oleh sistem bahasa
atau memang Chairil menggunakan licentia
poetica demi pencapaian tertentu?
Pada sisi lain, Junus (1981:9--10)
tampaknya memiliki pandangan yang sebaliknya dengan pandangan di atas. Ia “agak”
sependapat dengan kritikus sastra yang menyatakan bahwa dalam proses kreatif
seseorang ia akan setidak-tidaknya menggunakan “hak kebebasannya” agar puisi
yang dihasilkannya ekspresif. Namun Junus tetap mengingatkan bahwa licentia poetica tidak mungkin berlaku
mutlak. Kebebasan penyair tersebut hanya berlaku di dalam lingkungan yang
memungkinkannya karena penyair tetap harus memperhitungkan pembacanya. Pembaca
puisi itu harus dapat mengembalikan struktur bahasa puisi yang “keluar rel”
tersebut kepada struktur bahasa yang berlaku.
Berbeda dengan Junus, Alisjahbana
(1984: 46--47) menyatakan secara jelas adanya kaitan antara licentia poetica dengan ketidakpatuhan
terhadap norma kebahasaan. Bagi
Alisjahbana penyair tidak perlu mengikat dirinya kepada gramatika. Yang penting
bagi penyair adalah perasaan seninya. Dengan demikian, apabila perasaan seninya
menghendaki penyair tersebut melanggar gramatika dan ia yakin dengan jalan
demikian akan lebih baik, lebih indah, dan lebih sempurna terjelma perasaannnya
maka ia berhak melepaskan diri dari ikatan apapun. Di pihak lain, ia menambahkan bukan berarti seorang penyair
tidak perlu tahu tentang gramatika, ia harus tahu gramatika. Akan tetapi ia
harus menomorsatukan perasaan seninya.
Mengapa licentia poetica digunakan oleh penyair dalam menulis puisi?
Menurut Atmazaki (1993:70--72) ada tiga faktor yang menjadi penyebab licentia poetica digunakan oleh penyair
yaitu sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya penyair
menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik tersebut lebih banyak
berhubungan dengan emosi dan intuisi daripada rasio, ilmu, dan ilmiah.
Kedua, karena pengucapan puisi lebih
pendek daripada pengucapan nonpuisi maka berbagai unsur yang menurut penyair
mengganggu pengucapan puitiknya akan dihilangkan atau dibuang. Lihat saja
misalnya puisi Chairil yang berjudul “Nisan”. Pada puisi tersebut Chairil
menulis Bukan kematian benar menusuk
kalbu. Setelah dianalisis oleh Oemarjati (1972:10--13) ternyata Chairil membuang
unsur se-nya pada benar dan yang sebelum menusuk kalbu. Dengan demikian, larik
tersebut seharusnya berbunyi (Sebenarnya)
bukan kematian (yang) menusuk kalbu.
Ketiga, sastrawan (penyair) adalah
orang yang mampu menggunakan bahasa untuk tujuan tertentu. Kalau penyair bukan
“penguasa” bahasa, tidak mungkin ia mampu memanipulasi bahasa untuk
menghasilkan efek tertentu dalam puisinya.
Walaupun penyair dapat memanipulasi
bahasa, kebebasan untuk memanipulasi tersebut tetap terbatas. Karena, apapun
bahasa yang digunakan penyair di dalam mengungkapkan pengalamannya ke dalam
bentuk puisi akan tetap dapat dikembalikan kepada bahasa yang dapat dipahami
oleh pembacanya.
Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Teeuw (1991:4) terdahulu yakni di dalam penentangan terhadap
konvensi bahasa masih terdapat keterikatan dengan konvensi itu sendiri. Malah
dapat saja alih-alih melakukan penyimpangan dari konvensi bahasa yang berlaku,
penyair tetap memilih mengikuti kaidah bahasa walaupun masih terdapat
kekhususan yang menandai adanya proses kreatif penyair.
Terhadap cara-cara pengucapan
penyair, Sudjiman (1993:19--20)
mengelompokkannya ke dalam tiga klasifikasi yakni sebagai berikut.
Pertama, penyair mengikuti kaidah
bahasa secara tradisional konvensional. Penyair dapat saja menerapkan konvensi
bahasa yang berlaku di dalam penyampaikan pengalaman puitiknya. Jadi, tidak
terdapat penyimpangan-penyimpangan dari pengucapan tersebut atau sama dengan
pengucapan yang sering dilakukan dalam bertutur sehari-hari. Namun cara
penyampaian yang tidak ke luar dari norma bahasa ini (hanya masih dalam batas
konvensi puisi; yang dapat dilihat dari tipografinya) sulit ditemukan pada satu
puisi secara utuh. Maksudnya kita hanya dapat menemukannya pada beberapa larik
saja di dalam satu puisi sementara sisa larik lainnya menggunakan cara
pengucapan yang “deotomatisasi”. Berikut
diberikan contoh pengucapan yang mengikuti konvensi bahasa dari puisi “Rodrigo
Gonzales.”
Rodrigo
Gonzales orang Mexico selatan
Pekerjaannya
berdagang buah keliling
Di
pasar-pasar kecil. Di dusun-dusun jauh
Dia
pun selalu membawa gitar kesayangan (Suryadi,
1987:93)
Apabila membaca larik-larik puisi
tersebut kita akan mudah mengikuti bahasanya karena baik dari struktur maupun
maknanya tidak keluar dari konvensi bahasa yang ada. Hanya saja, karena karya
ini merupakan sebuah puisi tentu saja
terbuka kemungkinan pemaknaan yang melibatkan konvensi sastra dan
akhirnya pemaknaan yang timbul bukan lagi pemaknaan dalam pemahaman arti (meaning) akan tetapi sudah memasuki
daerah makna (meaning of meaning).
Cara kedua yang dapat digunakan
penyair di dalam menuliskan pengalaman batinnya yaitu dengan memanfaatkan
potensi dan kemampuan bahasa secara inovatif. Di dalam penyampaiannya
penyair memanfaatkan bahasa secara
inovatif tetapi masih di dalam batas-batas konvensi. Misalnya ketika Thomas
(Leech, 1984) menggunakan bentuk the oat
was merry. Pada kalimat tersebut the
oat (bukan manusia) diberi ciri kehidupan seperti manusia. Kemudian
dijumpai pula pemanfaatan bahasa secara inovatif pada puisi Thomas tersebut.
Frasa ‘broke the ...’ biasanya
dikaitkan dengan benda yang mudah pecah seperti ‘cup, plate, dan clock.’ Tetapi dalam puisi itu frasa broke the ... dipadukan dengan nomina sun sehingga berbunyi broke the sun. Dengan demikian
terjadi sesuatu yang “khas.” Berikut
diberikan contoh lebih jauh tentang pengucapan puisi dengan cara kedua ini
dengan mengambil puisi “Mancuria.”
...
angin
menggosokkan punggungnya yang gatal. (Rendra,
1978:11)
Pada larik angin menggosokkan punggungnya yang gatal tersebut terdapat gejala menginsankan
angin (yang pada dasarnya tidak dapat
berbuat seperti manusia) yakni ia (angin) dapat menggosok punggungnya yang gatal. Usaha Rendra memberi ciri manusia
kepada angin tersebut merupakan pemanfaatan bahasa yang kreatif sehingga
memunculkan hal baru yang belum pernah muncul sebelumnya. Begitu pula gejala
serupa terlihat pada larik puisi yang berjudul “Sanatorium Chakhalinagara,
Moskwa.”
...
Wajahku
yang sepi setelah dicuci,
...
Tak
bisa kumakan wajah kekasih
tak
bisa kuminum ibuku bersama susu
dan
tak bisa kuusap mata adik dengan mentega!”
(Rendra, 1978:16--17)
Larik-larik wajahku yang sepi setelah dicuci, tak bisa kumakan wajah kekasih, tak bisa kuminum ibuku bersama susu, dan
tak bisa kuusap mata adik dengan mentega merupakan usaha memanfaatkan unsur-unsur bahasa (kata)
secara kreatif. Biasanya bentukan yang muncul
bukanlah wajahku yang sepi setelah dicuci
akan tetapi mungkin wajahku segar setelah
dicuci atau wajahku tetap kusut setelah
dicuci. Namun bentukan seperti itu seperti sudah kehilangan kekuatan karena
sering digunakan. Oleh Rendra digunakanlah wajahku yang sepi sebagai bentukan “baru”. Begitu juga pada tak bisa
kumakan wajah kekasih, tak bisa kuminum ibuku dengan susu, dan tak bisa
kuusap mata adik dengan mentega yang
memiliki kebaruan yang belum pernah muncul dalam
puisi-puisi Rendra lainnya atau puisi penyair lainnya. Bentukan yang sering
muncul dalam konteks makan adalah makan nasi atau lainnya sedangkan minum biasanya muncul langsung dengan susu tanpa didahului ibuku. Sementara itu, tak bisa kuusap mata adik biasanya dengan sapu
tangan atau tissu. Namun Rendra memadankan klausa tak bisa kuusap mata adik dengan kata mentega. Sesuatu yang baru muncul akibat adanya proses kreatif
penyairnya.
Ketiga, penyair menyimpang dari konvensi yang
berlaku. Atmazaki (1993:72) mengemukakan bahwa penyimpangan dari konvensi yang
berlaku tersebut antara lain dapat berupa penghilangan imbuhan dan penyimpangan struktur sintaksis.
Berikut diberikan contoh
penghilangan imbuhan yang terdapat di dalam puisi Rendra yang berjudul “Ia
telah Pergi”.
...
Semua
lelaki ninggalkan ibu
dan
ia masuk serdadu. (Rendra,
1994:68)
Pada puisi tersebut muncul verba ninggalkan tanpa awalan me-. Bentuk ningggalkan sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Hal ini
bukan berarti Rendra tidak mengetahui bentuk formal meninggalkan akan tetapi ia menggunakan ninggalkan dalam rangka memunculkan irama yang selaras dengan
jumlah kata. Jumlah kata pada larik tersebut dengan larik sesudahnya yaitu dan ia masuk serdadu relatif sama.
Selanjutnya berikut ini dikemukakan
penyimpangan struktur sintaksis yang diambil dari puisi Rendra yang berjudul
“Tahanan”.
...
semalam
kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah (Rendra, 1971:22)
Keterangan aspek sudah lazimnya diletakkan sebelum verba
sehingga berbunyi semalam sudah kucicip. Peletakan
kata sudah setelah kucicipi dilakukan oleh Rendra karena ingin mendapatkan bunyi akhir yang sama dengan larik selanjutnya yaitu darah.
Penyimpangan struktur sintaksis
lainnya dapat berupa pelesapan unsur P (predikat) dalam sebuah larik misalnya
dicontohkan berikut ini.
...
Sawah
di kanan kiri (Rendra, 1978: 34)
Pada larik tersebut tidak terdapat
predikatnya sehingga larik tersebut hanya terdiri atas unsur S (subjek) yaitu sawah dan K (keterangan) yaitu di kanan kiri. Hal tersebut terjadi karena sifat puisi yang padat
sehingga banyak terjadi pelesapan. Tentu saja pelesapan-pelesapan tersebut
dilakukan karena terdapat “ke-sah-an” dalam melakukannya. Apabila ditelusuri
larik di atas dapat dimasuki kata terhampar,
ada, menguning, dan menghijau. Jadi larik itu salah satunya
dapat berbunyi sawah (terhampar) di kanan kiri.
Bentuk struktur yang lebih banyak
digunakan pada tulisan nonsastra ialah
berpola S-P. Sementara itu, di dalam puisi sering ditemukan bentuk inversi P-S
seperti berikut.
Dari Balik Jendela
Berlarian
anak kecil di halaman
Bercengkerama
orang tua mereka (Wirodono dalam Suryadi, 1987:352)
Larik berlarian anak kecil di halaman berpola P-S yaitu berlarian sebagai P dan anak kecil sebagai S. Pola yang sama
dilakukan oleh Wirodono dengan memakai bercengkerama
sebagai P dan orang tua mereka sebagai
S. Pola kalimat P-S ini ditemukan pula dalam sejumlah puisi Rendra. Sama dengan
Wirodono, Rendra menggunakannya secara ajeg. Maksudnya apabila ia telah memilih
bentuk P-S dalam pengungkapan larik-lariknya pada sebuah puisi maka bentuk itu
akan mendominasi pilihan struktur dalam keseluruhan sebuah puisi. Misalnya pada
puisi Rendra yang berjudul “Hutan Bogor”
berikut ini.
...
Berhadapan
dengan maut
dengan
malu
telanjanglah
kita
Menggapailah
tangan-tangan kita
bagai
dahan-dahan pohonan
beriaklah
suara-suara
dalam
perkelahian yang fana (Rendra, 1978:51)
Larik telanjanglah kita bila dianalisis akan berpola P-S dengan telanjanglah sebagai P dan kita sebagai S. Selanjutnya menggapailah tangan-tangan kita dengan menggapailah sebagai P dan tangan-tangan kita sebagai S. Begitu
pula pada beriaklah suara-suara
dengan beriaklah sebagai P dan suara-suara sebagai S.
Apabila diperhatikan contoh-contoh
di atas terlihat bahwa penyimpangan-penyimpangan bahasa yang dilakukan oleh penyair masih dalam “batas” norma kebahasaan karena
masih dapat ditelusuri bentuk-bentuk
“asalnya”.
Penutup
Terdapat hubungan antara bahasa sastra
dengan licentia poetica. Walaupun
demikian, Junus memiliki argumen bahwa penyair tidak dapat menggunakan bahasa
semau-maunya karena bahasa memiliki sistem tersendiri sehingga penyair harus
tunduk kepada sistem bahasa tersebut. Dalam konteks ini penyair tidak memiliki
kewenangan dalam memberlakukan bahasa “seenaknya” sehingga “menyimpang” dari
norma bahasa. Akan tetapi, argumen Junus termasuk lemah sebab bagaimana
menjelaskan fenomena penggunaan bahasa oleh penyair termasuk Chairil sekalipun
di dalam puisi-puisinya yang lain. Seperti pada larik aku tumpat pedat. Chairil jelas-jelas melanggar konvensi bahasa
dengan sengaja karena ia menggunakan bentuk pedat
yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Begitu pun ternyata Junus sendiri menyatakan bahwa
walaupun penyair menggunakan kewenangan tersebut dalam menyampaikan gagasannya
tetapi ia tetap harus tunduk kepada konvensi yang berlaku agar sajaknya tetap
dapat dipahami.
Dalam hubungan dengan penggunaan licentia poetica tersebut penyair
memiliki tiga cara pengungkapan yang telah dijelaskan terdahulu. Ketiga cara
atau pilihan tersebut bertujuan menonjolkan apa yang hendak disampaikan (foregrounding of the utterance). Tentu
saja dalam satu karya sastra dapat terlihat dua atau bahkan ketiga pilihan
tersebut berlaku sekaligus (Sudjiman, 1993:20); Luxemberg dkk., 1989:10).
Tepatlah jika Brett (1983:6) mengemukakan sebagai berikut. In fact, literature will use language in every way it can,
conventinally or experimentally, with the widest range of effects that words
can be forced to yield. Pernyataan
yang hampir sama diungkapkan pula oleh Jones (1986:22) ...poetry is to render accessible to readers the activity of a mind at
work in pursuit of elusive truths, it needs all the resources the language
affords. Dengan demikian, bahasa
puisi memang memanfaatkan semua unsur bahasa untuk mencapai efek tertentu. Hal
itu tidak akan terjadi jika memang tidak dimungkinkan oleh kewenangan yang
berlaku bagi sastrawan khususnya penyair.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, S. T. 1984. Perjuangan Tanggung Jawab dalam
Kesusastraan. Jakarta:
Pustaka
Jaya.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak .
Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Becker, A.L. 1978. Linguistik
dan Analisis Sastra. Antologi Stilistika. Jakarta: Panitia Pelaksana Penataran
Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Breet, R.L. 1983. An
Introduction to English Studies. USA: Whitehall Company Illinois.
Cummings, M. dan Simmons, R. 1986. The
Language of Literature. England: Pergamon Press Ltd..
Jones, R.T. 1986. Studying
Poetry an Introduction. London: Edward Arnold Ltd..
Junus, U. 1981. Dasar-Dasar
Interpretasi Sajak. Petaling Jaya, Selangor Malaysia: Heinemann Educational
Books (Asia) Ltd..
Leech, G. N. dan Short, M.H. 1984. Style
in Fiction. London and New York: Longman.
Suryadi, AG L. (Ed.). 1987. Tonggak
Antologi Puisi Indonesia Modern 4. Jakarta: PT Gramedia.
van Luxemburg, J., dan Bal, M., dan Weststeijjn, W. G. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh
Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Nurhadi (Ed.). 1987. Kapita
SelektaKajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang: YA 3.
Oemarjati, B. S. 1972. Chairil
Anwar: The Poet and His Language. The Hague-Martinus Nijhoff.
Pradopo, R.D. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah
Mada.
Rendra. 1971. Ballada Orang-Orang Tercinta. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rendra. 1978. Sajak-sajak Sepatu
Tua (Dua Puluh Kumpulan Sajak). Jakarta: Pustaka Jaya.
Rendra. 1994. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Shaw, H. 1972. Dictionary and
Literary Terms. New York: Mc Graw-Hill Book Company.
Sudjiman, P.. (Ed.). 1993. Bunga
Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Teeuw, A. 1983. Tergantung pada
Kata: Sepuluh Sajak Indonesia dipilih dan Dikupas oleh A. Teeuw. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1991. Membaca dan
Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Widdowson, H.G. 1975. Stylistics
and the Teaching of Literature.Longman Group Limited.
Saya belum pernah belajar puisi. Artikel ini membuat saya pengin mendalami puisi. Terima kasih buat sharing-nya
BalasHapusArtikel yang menarik. Licentia poetica memang selalu potensial untuk dibahas, khususnya ketika disandingkan dengan puisi.
BalasHapusAdakah rencana untuk menulis artikel serupa, namun disandingkan dengan karya sastra yang lain, misalnya cerpen atau drama?