Rabu, 01 Februari 2012

Wacana Interaksi Kelas: Analisis Kritis dari Aspek Dimensi Sosial


Wacana Interaksi Kelas: Analisis Kritis
dari Aspek Dimensi Sosial

Nurhayati·
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dimensi sosial yang terjadi dalam wacana interaksi kelas di kelas V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi  Pulo Gadung Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang lebih ditekankan pada etnografis yang mengandung unsur-unsur sentral yaitu peneliti mendeskripsikan format keseluruhan data yang diperoleh, lalu menganalisisnya, dan memberikan interpretasi terhadapnya. Hasil penelitian menunjukkan adanya sejumlah praktik sosial yang menggambarkan adanya hegemoni guru terhadap siswa. Terdapat  pula praktik pemunculan otoritas guru baik sebagai pengatur disiplin maupun sebagai pemberi materi. Ada pula dominasi guru di dalam kelas dan juga guru menjadi orang yang serba tahu. Terdapat pula ketidakkonsistenan guru dalam praktik perilakunya di depan kelas. Di satu sisi guru menginginkan jawaban yang mendalam ketika siswa menjawab pertanyaan di sisi lain guru menunjukkan ketidaksabarannya menunggu siswa menjawab. Sementara itu, terdapat perubahan perilaku pada pertengahan proses pembelajaran. Guru mengubah fungsinya dalam koridor paradigma konvensional ke paradigma nonkonvensional.
Kata-kata kunci: wacana, interaksi kelas, dimensi sosial.
Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan lainnya. Secara umum penggunaan bahasa lisan lebih sering dilakukan daripada bahasa tulis dalam komunikasi. Demikian pula yang terjadi pada interaksi kelas antara guru dan siswanya. Umumnya guru melaksanakan proses pembelajaran secara lisan.
Salah satu tipe analisis wacana lisan adalah analisis wacana interaksi kelas. Analisis wacana interaksi kelas berbeda dengan analisis wacana lisan yang lain seperti wawancara ataupun penawaran barang di toko (Indrawati, 2003:2). Dalam analisis wacana interaksi kelas terdapat interaksi misalnya antara guru-siswa dan guru-siswa-guru (Coulthard, 1977:103). Oleh karena itu, wacana lisan termasuk wacana interaksi kelas  harus dipahami dan ditafsirkan berdasarkan kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.
Secara tradisional guru berfungsi sebagai orang yang memberikan pelajaran, orang yang bercerita, dan orang yang “menyuapkan” materi. Sementara itu, siswa “duduk manis” di kursi dan menyimak penjelasan guru. Bahkan Barnes (Coulthard, 1977:93) mengamati bahwa partisipasi siswa sangat rendah, dan siswa sangat sedikit mengajukan pertanyaan. Hal ini dapat saja merupakan imbas dari praktik perilaku guru dalam proses pembelajaran selama kurun waktu tertentu. Seperti temuan Barnes di lapangan yaitu ternyata guru jarang memberikan pertanyaan-pertanyaan terbuka (open questions) yang meminta siswa memberikan jawaban bernalar. Pertanyaan yang sering dilakukan adalah pertanyaan yang hanya memancing jawaban singkat.
Akan tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, fungsi guru seharusnya berubah. Barnes (Coulthard, 1977:93) menyatakan bahwa siswa harus berani berpartisipasi dan mengemukakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki  sebanyak mungkin. Selayaknya pula pertanyaan guru lebih mengarah kepada penstimulasian berpikir siswa daripada pemberian informasi faktual kepada siswa. Guru hendaknya melaksanakan dua aspek interaksi di dalam kelas yaitu (1) guru memikirkan cara siswa berpartisipasi dan cara guru itu sendiri dalam memandu sistem pergiliran berbicara serta guru memandu mengembangkan topik; (2) guru mengajukan pertanyaan yang meminta siswa memberikan informasi, bernalar, dan bersosial.
Pada hakikatnya perilaku guru di dalam proses pembelajaran di dalam kelas merupakan refleksi dari ideologi yang dianutnya. Dengan melihat perilaku guru dalam bertindak di dalam kelas akan tergambar bagaimana guru memandang posisi siswa. Apakah guru memandang siswa berdasarkan konsep atasan-bawahan ataukah berdasarkan konsep bahwa guru sebagai motivator dan fasilitator serta siswa sebagai patner (mitra). Hal itu merupakan realisasi dari sistem pikiran dan kepercayaan yang ada pada diri guru itu sendiri.
Kajian terhadap bahasa lisan dalam interaksi kelas merupakan kajian wacana. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap bahasa lisan dalam interaksi kelas untuk melihat dimensi sosial yang terdapat dalam praktik pembelajaran di dalam kelas tersebut. Dengan demikian, yang menjadi masalah penelitian ini ialah bagaimanakah dimensi sosial yang terjadi dalam wacana interaksi kelas di kelas V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi Pulo Gadung Jakarta Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan  dimensi sosial yang terjadi dalam wacana interaksi kelas di kelas V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi  Pulo Gadung Jakarta Timur.
Analisis wacana kritis merupakan penerapan analisis wacana dengan perspektif interdisipliner.  
Analisis wacana kritis berkaitan dengan tinjauan ideologi yang salah satunya berhubungan dengan akar sejarah Aliran Frankfurt dan Marx yang menjamur pada tahun 1970-an. Menurut pandangan ini hubungan kekuasaan dalam masyarakat dibarengi oleh bahasa hegemonis dengan menyatakan realitas di balik ideologi. Misalnya orang mungkin menyatakan bahwa dalam masyarakat kita ada kesetaraan gender. Penelitian sosial menyatakan bahwa kaum laki-laki berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan perempuan dan kaum perempuan  secara sistematis menghabiskan waktu lebih banyak  untuk mengerjakan tugas-tugas domestik dibandingkan laki-laki. Terdapat ketidakkonsistenan antara bagaimana sesungguhnya segala sesuatu itu dan pemahaman orang terhadap bagaimana sesuatu itu. Ketidakkonsistenan semacam itu memberikan dasar untuk dilakukannya peninjauan. Orang tidak melihat realitas dengan tepat karena ideologi mengganggu pandangan mereka. Ideologi meneruskan hubungan kekuasaan yang tak setara namun orang-orang tidak bisa memandang kondisi ini karena mereka menderita kesadaran palsu yakni apa yang mereka lihat adalah ideologi bukan realitas. Dalam meninjau ideologi yang dominan peran peneliti adalah mengungkapkan ideologi sebagai distorsi sehingga orang-orang memiliki kemungkinan bisa melihat apa yang berada di balik ideologi dan mengubah realitas (Jorgersen dan Phllips, 2007: 327).
Demikianlah ideologi merupakan topik penting dalam analisis wacana kritis. Hal itu disebabkan tidak adanya wacana yang benar-benar netral atau “objektif” atau steril dari ideologi penutur (Purnomo, 2003:71). Yang dimaksudkan dengan ideologi ialah ideology defined as a system of notions and beliefs that control  the behavior of interlocutors toward reality (Struever, 1985:254). Ideologi adalah sistem pikiran dan kepercayaan yang mengontrol perilaku para penutur terhadap realitas yang ada.
Analisis kritis terhadap wacana terutama sekali mempelajari bagaimana kekuasaan digunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan diproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial politik (Eriyanto, 2001:ix).  Lebih jauh Eriyanto (2001:xiii) menjelaskan bahwa analisis kritis merupakan analisis yang bertujuan mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks.
Pada pandangan analisis wacana kritis bahasa dianalisis bukan hanya semata pada aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat.
Kelompok yang dominan membuat kelompok lain bertindak seperti yang diinginkan olehnya, berbicara, dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kelompok yang dominan karena menurut van Dijk mereka lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:7—8).
Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks misalnya dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara sementara itu siapa yang harus mendengar dan mengiyakan.  Mengikuti Guy Cook analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa (Eriyanto, 2001:8). Misalnya dalam suatu rapat seorang sekretaris karena tidak mempunyai kekuasaan tugasnya hanya mendengar dan menulis tidak berbicara.
Analisis wacana kritis merupakan pendekatan yang tepat dalam bidang sosial dan perubahan kultur. Sebuah hubungan antara praktik sosial dan bahasa. Di dalamnya dapat diteliti hubungan antara proses sosial dan teks-teks bahasa (Fairclough, 1995: 96).  
Analisis wacana Fairclough dapat dijadikan contoh versi tinjauan ideologi yang telah dimodifikasi. Fairclough (1995::97) membagi analisis wacana dalam tiga dimensi yaitu text (teks), discourse practice (praktik wacana), dan sociocultural practice (praktik sosiokultural). Dengan demikian, Fairclough menggunakan konsep tiga dimensi wacana dan metode tiga dimensi yang saling berhubungan terhadap analisis wacana. Praktik wacana menurutnya dapat dilihat secara simultan yaitu bahasa teks baik lisan maupun tulis, praktik wacana (produksi teks dan interpretasi teks) dan praktik sosiokultural. Metode analisis wacana meliputi deskripsi linguistik terhadap bahasa teks, interpretasi terhadap hubungan antara proses wacana baik yang produktif maupun yang interpretatif dan teks serta penjelasan hubungan antara proses wacana dan proses sosial. Hubungan antara praktik sosiokultural dan teks dijembatani oleh praktik wacana. Berikut bagan yang menggambarkan pendekatan yang dikemukakan oleh Fairclough (1995:98).

 





  Deskripsi (analisis teks)
                                                                                     [APA]

Penginterpretasian (analisis    pemprosesan) [BAGAIMANA]

                                                                                    Penjelasan (analisis sosial)
                                                                                    [MENGAPA]





    DIMENSI WACANA                                  DIMENSI ANALISIS WACANA
           
Teks dapat dianalisis secara linguistik dengan melihat kosa kata, semantik, dan tata kalimat. Setiap teks dapat dianalisis dari representasi dalam teks yaitu bahasa yang digunakan misalnya dengan melihat kosa kata yang digunakan untuk menampilkan atau menggambarkan sesuatu. Selain itu, teks dapat dilihat dari pilihan gramatikal atau struktur sintaksisnya (Eriyanto, 2001:290).
Analisis praktik wacana memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus yang akan menentukan bagaimana teks itu diproduksi. Misalnya wacana di kelas. Wacana itu terbentuk lewat suatu praktik diskursus yang melibatkan bagaimana hubungan antara guru dan murid. Bagaimana guru dalam pelajaran di kelas dan sebagainya. Pola hubungan yang demokratis di mana murid dapat mengajukan pendapat secara bebas tentu saja akan menghasilkan wacana yang berbeda dengan suasana kelas dimana pembicaraan lebih dikuasai oleh guru, murid tidak lagi boleh berpendapat dan guru sebagai penyampai tunggal materi pelajaran. Semua praktik itu  adalah  praktik diskursus yang membentuk wacana (Eriyanto, 2001:316-317).
            Analisis praktik sosiokultural didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul. Praktik sosiokultural ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Misalnya sebuah teks yang merendahkan atau memarjinalkan perempuan merepresentasikan ideologi patriarkal yang ada dalam masyarakat. Ideologi yang patriarkal berperan dalam membentuk teks yang patriarkal pula. Ideologi patriarkal ini tersebar di banyak tempat termasuk di sekolah. Ideologi patriarkal semacam ini memandang dan menomorduakan wanita itulah yang terserap dan bagaimana  sebuah teks yang hadir dalam masyarakat tersebut merendahkan wanita. Praktik sosiokultural menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat (Eriyanto, 2001:321).
Dimensi sosial ini lebih mengarah kepada aspek makro seperti sistem budaya masyarakat  secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat. Dan bagaimana nilai dan kelompok yang berkuasa itu mempengaruhi dan menentukan media. Misalnya masyarakat yang sangat kental ideologi otoriter akan menghasilkan teks yang berbeda dengan yang tidak dipengaruhi ideologi semacam itu (Eriyanto, 2001:325-326). 
Dalam penelitian ini, analisis wacana kritis dilakukan berdasarkan teori Fairclough yang mengarah kepada analisis dimensi sosial. Dimensi sosial menjelaskan praktik sosial apa yang tersembunyi di balik wacana guru-murid tersebut (misalnya, hegemoni, ideologi, kekuasaan, dominasi, perkauman, peminggiran). Praktik sosial yang telah ditemukan dari data ini diperjelas melalui dimensi tekstual dan praktik wacana.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang lebih ditekankan pada etnografis. Salah satu aspek penelitian etnografis ialah kajian yang mengandung unsur-unsur sentral yaitu peneliti mendeskripsikan format keseluruhan data yang diperoleh, lalu menganalisisnya, dan memberikan interpretasi terhadapnya (Creswell, 1998:35).
Sumber data penelitian ini ialah tuturan guru dan siswa dalam peristiwa interaksi kelas pada proses pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD N 05 Pagi Jatinegara Kaum Pulo Gadung Jakarta Timur. Siswa kelas V tersebut berjumlah 41 orang.
            Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik perekaman dan pengamatan. Perekaman dilakukan dengan menggunakan tape recorder. Dengan demikian, data lisan interaksi kelas  direkam selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu selama proses pembelajaran, dilakukan pengamatan dengan catatan lapangan untuk membantu pemahaman terhadap ujaran yang direkam. Pengamatan dilakukan bersamaan dengan perekaman. Perekaman proses belajar mengajar dilakukan pada tanggal 13 Juni 2007.
            Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut. (1) Data   lisan  ditranskripsikan ke tulisan. Pada proses pentranskripsian dilakukan pemberian kode. Pemberian kode pada ujaran guru dengan kode G dan ujaran siswa denga kode S. (2) Penganalisisan secara kritis dari dimensi sosial untuk melihat arah dominasi antara guru dan siswa. (3) Penyimpulan hasil analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Berikut uraian analisis dimensi sosial terhadap wacana interaksi kelas di kelas V  SD N 05 Pagi Jatinegara Kaum Pulo Gadung Jakarta Timur. Penganalisisan dirangkai dengan memaparkan ujaran-ujaran yang guru gunakan dan bentuk interaksi yang terjalin serta bentuk-bentuk perbuatan guru yang mendukung praktik sosial yang terjadi.           
Dalam pandangan tradisional guru adalah orang yang mengajarkan, membagikan, memberikan, dan menyebarkan pengetahuan kepada siswa. Guru dianggap memiliki kelebihan daripada siswa. Siswa pun duduk secara pasif ketika guru sedang berbicara atau menunjukkan “kebolehan”nya. Meja dan kursi disusun berbaris dan papan tulis diletakkan di depan disusun berdasarkan peranan guru. Gambaran fungsi dan peran guru serta gambaran situasi kelas secara tradisional tersebut terjadi dan terdapat di kelas V SD N 05 Pagi Jatinegara Kaum Pulo Gadung Jakarta Timur.
Guru “konvensional” tersebut menjalankan agendanya sebagai pembuka proses pembelajaran dan menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, guru memulai pembelajaran dengan menyampaikan salam yaitu  “Selamat pagi Anak-anak.”  Siswa sesuai dengan perilaku kelaziman dalam masyarakat menjawab salam pembuka tersebut dengan “Selamat pagi Bu.” Praktik seperti ini berlaku dari waktu ke waktu dan telah menjadi rutinitas dari kegiatan kelas.
Selanjutnya dengan otoritasnya sebagai pengontrol kelas guru meminta siswanya untuk menyisihkan benda-benda yang sekiranya dapat mengganggu kelancaran proses pembelajaran. Hal ini ditunjukkan guru dengan tuturan “Coba botol aqua itu dimasukkan ke dalam  kolong meja.” Siswa yang merasa memiliki botol aqua yang berada di atas meja dengan cepat membereskan meja dan meletakkan botol aqua di dalam meja. Guru mengiyakan tindakan siswa dan melakukan persetujuan dengan menuturkan kata “Ya,” dan memberikan opini bahwa perlakuan siswa dengan meletakkan botol aqua ke tempat yang semestinya dalam rangka  tidak mengganggu pelajaran pada hari itu.
Selanjutnya     guru sebagai institusi yang berwewenang dalam memberikan materi pembelajaran mulai memperkenalkan topik (introducing a topic).  Guru melakukannya dengan strategi linguistik yang dapat membantunya memulai pelajaran. Guru menyebutkan “Hari ini kita akan belajar  bahasa ....” Ujaran tersebut tidak dilengkapi oleh guru karena guru percaya bahwa siswa akan melengkapi kata akhir dari rangkaian klausa yang diucapkannya itu. Adalah tugas siswa untuk melengkapinya sehingga dalam pertemuan itu secara serentak siswa menyebut “Indonesia.” Guru dengan demikian mempersiapkan siswa untuk melakukan tindakan selanjutnya yang dikehendaki oleh guru. Hal ini merupakan aplikasi dari pemertahanan tatanan fungsi dan peran guru menurut konsep konvensional.
Dari pola giliran yang terdapat di dalam interaksi kelas ini  terlihat adanya dominasi guru di dalam di kelas. Pola pergiliran yang  terdapat dalam pembelajaran tersebut ialah G-S-G-S-G-S-G-S-G-S-G-S-G-S-G-S. Dapat dilihat adanya pergiliran yang dua arah yaitu dari guru (G) ke siswa (S), guru ke siswa demikian seterusnya. Hal ini menandakan pemicu utama pembelajaran adalah guru baik sebagai pembuka pembelajaran, pembuka pertanyaan, maupun sebagai inisiator utama proses pembelajaran secara keseluruhan. Guru mengucapkan “Minggu lalu kitakan sudah mempelajari membaca ya.” Sementara itu, siswa sebagai pengikut yang berada di belakang guru mengikuti kemauan dan arah petunjuk guru. Siswa cukup mengucapkan “Ya.”
Guru selain mendominasi kelas dan menjadi penguasa kelas ia menjadi orang yang  serba tahu. Hal ini terbukti dari perilakunya dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa “Mengapa Tulap menyantap laki-laki tua?”   Guru tidak sabar menunggu dalam hitungan beberapa detik lalu ia mengajukan pertanyaan kembali “Bagaimana?” Tidak ada jawaban dari siswa akhirnya guru menjawab “Karena lelaki tua diajaknya berburu.” Dengan demikian, selesai sudah guru menunjukkan kemampuannya dalam mengajukan pertanyaan sekaligus menjawab pertanyaannya itu sendiri.
            Salah satu fungsi guru ialah sebagai penilai. Untuk menjalankan fungsi penilaian tersebut, guru harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswanya. Pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya pertanyaan-pertanyaan yang dapat menstimulasi siswa untuk berpikir. Kenyataannya yang terjadi di dalam proses pembelajaran di kelas V tersebut ialah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru hanya sekedar pertanyaan pada tingkat kognitif yang menginginkan siswa mereproduksi ingatannya. Guru mengajukan pertanyaan yang meminta siswa memberikan informasi sederhana misalnya “Nah sekarang bu guru tanya jawab dengan kalian. Dari cerita ini ya. Coba. Toni. Siapakah tokoh pelaku dalam cerita Tulap dan Lelaki Tua? Siapa?”  Dengan pertanyaan tersebut siswa menjawab “Tulap” Lalu guru bertanya lagi “Tulap. Siapa? Coba Hidayat. Tulap itu bagaimana sosok, sosok Tulap itu?” Dijawab siswa “Kasar” Guru mengulang jawaban siswa untuk memastikan jawaban itu dan mengajukan pertanyaan baru “Kasar.” Kemudian apa ciri si Tulap ini?” Dijawab oleh siswa “Memakan manusia.” Guru mengajak kelas untuk mengulang jawaban dengan menyebut “Memakan…” dan secara serempak siswa menyebut  “Manusia.”
Pertanyaan memang dapat digunakan untuk memulai percakapan dan dapat digunakan berkali-kali. Peran penting pertanyaan adalah untuk memunculkan jawaban dan sekaligus menjaga agar percakapan berlangsung. Oleh sebab itu guru memunculkan lagi pertanyaan baru tentang fakta yang berkaitan dengan cerita “si Tulap dan Lelaki Tua.” Pertanyaan yang muncul “Ya, Kemudian Maria di manakah latar terjadinya peristiwa?” Di mana? Di ….” Siswa menjawab “Di hutan (serempak guru).” Seperti yang terjadi sebelumnya guru mengulang kembali jawaban siswa “Ya di hutan.”
Kalaupun ada pertanyaan yang meminta siswa berpikir secara mendalam misalnya pertanyaan mengapa dan bagaimana maka jawabannya akan sama dengan kasus pertanyaan yang memunculkan kata apa (what), siapa (who), di mana (where), dan kapan (when). Jadi siswa kurang diberi stimulasi untuk mengeksplorasi kemampuannya dalam hal bernalar. Hal ini ditemukan pada pertanyaan “Kemudian mengapa, mengapa lelaki tua dengan  teman-temannya ingin membunuh si Tulap? Coba Ian Kenedi.” Dengan kata tanya mengapa siswa sebenarnya sudah diajak untuk mengemukakan alasan  namun guru tampaknya tidak sabar menunggu dan cepat menyela jawaban siswa yaitu “Karena Tulap suka memakan manusia ... (disela guru dan serempak dengan guru siswa mengucapkan) “Yang tidak bersalah.“ Siswa merasa belum lengkap jawabannya dan menyambungi jawabannya “Kepada ... “ guru langsung menyela “Kepada?” dan siswa menjawab “Si Tulap.”  Guru kemudian mengulang kembali jawaban siswa agar kelas mendengar secara utuh jawaban siswa tersebut dan meminta siswa secara serempak mengikuti jawaban dengan cara menaikkan intonasi ujarannya pada ujung ujaran sehingga secara otomatis siswa mengikuti ujung ujaran guru. “Lelaki Tua ingin membunuh Tulap karena … ia, si Tulap itu suka memakan ....” Siswa membalas “Manusia ....” (Serempak seluruh siswa).
Bukti lain guru sering menunjukkan ketidakkonsitenannya dan ketidaksabarannya dalam menunggu siswa menjawab pertanyaannya ialah pada ujaran berikut. Pertanyaan berikut ini pada dasarnya menginginkan jawaban yang mendalam. Berikut petikannya. “Coba Maulida.  Bagaimana menurut kamu sikap si Tulap ini.”  Siswa menjawab “Jahat.” Guru merasa jawaban siswa dengan menyebut jahat belum cukup karena tidak disertai alasan yang mendukung sehingga guru memintanya dengan mengajukan pertanyaan berikut “Jahat. Karena makan . . .?” Perhatikan bahwa pada satu sisi guru mengharapkan jawaban siswa memberikan jawaban disertai alasannya namun pada sisi lain guru langsung memberikan rambu (clue) jawaban kepada siswa dengan menambahkan kata makan setelah kata karena “karena makan ....” Dengan demikian, siswa langsung dapat menebak isi jawaban yang dikehendaki guru dan menjawab langsung “Manusia.”
Unjuk kekuasaan guru dalam pengelolaan kelas ditunjukkan dengan pemilihan kata yang mencitrakan bahwa guru memiliki otoritas tunggal dan penuh terhadap siswa-siswanya. Guru cukup menggunakan ujaran berikut. “Dimas perhatikan. Nanti Bu Guru tanya jawab sama kamu. Ndak bisa jawab, awas. Yang lain dengarkan. Feri jangan ngobrol.”
Perilaku yang ditunjukkan guru ini menunjukkan adanya jurang pemisah antara guru dan siswanya. Guru tidak menganggap dirinya sebagai teman, konselor, dan atau motivator siswa namun guru menunjukkan jati dirinya sebagai atasan dan siswa sebagai bawahan yang harus patuh terhadap perintah atasannya demi sekali lagi terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pelaksanaan pembelajaran. Akan terdapat banyak Dimas dan Feri lainnya di ruang-ruang kelas yang mengalami perlakuan guru seperti itu. Praktik peminggiran terhadap siswa yang dianggap guru “mengganggu kelas” ini mencerminkan ideologi yang dianut guru bahwa siswa merupakan “bawahan” dan “anak” sedangkan guru sebagai atasan dan “orang tua.” Sebagai bawahan dan anak siswa tidak boleh keluar dari rel yang telah  ditentukan. Atasan memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh bawahan. Begitu juga anak tidak memiliki kekuatan seperti yang dimiliki oleh orang tua.  Hal ini merupakan akar bagi tidak terciptanya iklim demokratis di dalam kelas. Praktik-praktik pengebirian suara siswa di dalam kelas akan membelenggu siswa dalam bertutur kata. Bisa jadi akan membelenggu siswa dalam berkreativitas. Inilah mungkin salah satu sisi mengapa sekolah di Indonesia tidak dapat membawa anak-anak didiknya menjadi orang kreatif dan kritis. Upaya pendidikan memerlukan proses yang panjang dan sabar dan tidak akan bermakna akibat kejadian-kejadian yang tampaknya sepele namun bisa jadi akan berdampak besar.
            Pada sisi lain, perilaku guru yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki siswa merupakan pengejawantahan perubahan paradigma fungsi guru dalam masyarakat. Di tengah perjalanan pembelajaran tampaknya guru mengubah struktur interaksi yang telah dilakukannya. Guru  memikirkan cara agar siswa berpartisipasi dengan  memandu sistem pergiliran berbicara. Guru kelas V tersebut memberikan kesempatan kepada siswanya untuk membuat pertanyaan dengan menggunakan serangkaian kata tanya yaitu 5 W 1 H. Dengan membuat pertanyaan dan jawaban terhadap pertanyaan yang dibuat oleh siswa itu sendiri guru melakukan pemberdayaan terhadap siswa.   Jadi setiap siswa diminta membuat pertanyaan dan jawabannya dan siswa diminta maju berpasangan ke depan kelas. Tugas siswa pertama menanyakan siswa kedua dan siswa kedua harus dapat menjawab pertanyaan yang diajukan siswa pertama. Siswa pertama sekaligus sebagai penilai siswa kedua (peer editing). Guru berlaku hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam hal ini. Pada aktivitas tersebut guru tidak lagi sebagai penyampai tunggal materi pembelajaran. Peran guru sebagai otoritas tunggal pengembang materi diganti oleh siswanya.
Aktivitas pembelajaran yang tidak “dikuasai” oleh guru itu dapat dilihat dari pola giliran yang ada. Terdapat pola giliran yang lebih banyak memunculkan aktivitas siswa daripada guru. Hal ini dapat dilihat dari pola G-S-S-S yang terdapat pada tabel berikut.

Tabel  Pola Giliran G-S-G-S-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G

Pola Giliran G-S-G-S-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G
G: Siapa yang sudah?
     Coba Sita dengan Junia, maju. Ayo.
     Junia sudah selesai katanya. Ayo.
     Coba lainnya dengarkan.
     Dengarkan teman.
     Junia baca pertanyaan Junia.
S:  Bu, Junia dulu.
G: Yang lain dengarkan.
      Feri jangan ngobrol.  
S-S: Siswa melakukan tanya jawab
     berdasarkan pertanyaan yang telah
     dibuatnya.
G: Betul?
S: Betul.
S-S: Melanjutkan tanya jawab.
G: Ya, tepuk tangan untuk temannya.
     Ya Yuda dengan Deri.
     Siapa dulu yang mulai?
S: Yuda
G: Yang lain diam!
S-S: Siswa melakukan tanya jawab.
G: Betul?
S: Betul.
G: Ya
S-S: Melanjutkan tanya jawab.
G: Bagaimana pertanyaannya?
     Maka Si Tulap kaget.
     Betul?
     Apa jawabnya?
S: (Siswa menjawab)
G: Betul kawan-kawan? 
     Tadi jawabnya karena Tulap suka
      memangsa manusia.
     Pertanyaannya apa?
    Mengapa Tulap menyantap laki-laki tua?  
    Bagaimana?
    Karena lelaki tua diajaknya berburu.
    Sudah selesai pertanyaannya?
S: Belum.
S-S: Melanjutkan tanya jawab
G: Betul?
S: Betul
G: Betul.
S-S: (Melanjutkan tanya jawab).
G: Sudah?
S: Sudah.
G: Ya. Berikan tepuk tangan.
             Pemberdayaan siswa sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Hal ini mulai dirasakan oleh guru kelas tersebut setelah proses pembelajaran berlangsung setengah jalan. Selain pola pergiliran yang dikemukakan di atas guru mulai mengubah strategi yang diterapkannya. Hal itu dapat dilihat dari tuturan berikut  “Ada?  Ya dicoba, salah tidak apa-apa. Coba Rio.” Guru berperilaku lebih terbuka dan memandang siswanya secara lebih demokratis. Di samping itu  guru memandu mengembangkan topik tentang “Si Tulap dan Orang Tua” dengan memberi kesempatan kepada siswa seperti berikut. “Tadi Hidayat tadi sudah betul. Tadi Hidayat disebutkan juga, penjelasannya disebutkan. Coba idenya saja. Gagasannya saja. Coba Junia.” Dengan perlakuan yang demikian, guru melepaskan sebagian otoritasnya selaku pengembang materi. Siswa diberinya kepercayaan untuk itu. Pemberdayaan memang akan lebih bermakna jika guru semakin banyak memberi kesempatan kepada siswa.
Dari data tuturan guru tersebut terdapat empati guru terhadap aktivitas yang dilakukan siswa  dengan memunculkan  backchannelling seperti ya, bagus, benar, dan sebagainya. Hal ini pertanda bahwa guru menunjukkan perhatiannya terhadap  pekerjaan yang dilakukan siswa. Namun pada sisi lain, tampaknya terdapat perilaku ganda dalam diri guru. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya reaksi apa pun baik verbal maupun nonverbal ketika siswa beraktivitas. Misalnya ketika siswa membaca paragraf demi paragraf cerita “Si Tulap dan Orang Tua” secara bergantian.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Dari analisis terhadap wacana interaksi kelas di kelas  V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi  Pulo Gadung Jakarta Timur diketahui hal-hal sebagai berikut. Ditemukan sejumlah praktik sosial yang menggambarkan adanya hegemoni guru terhadap siswa. Terdapat  pula praktik pemunculan otoritas guru baik sebagai pengatur disiplin maupun sebagai pemberi materi. Ada pula dominasi guru di dalam kelas dan juga guru menjadi orang yang serba tahu.
Selain itu, terdapat pula ketidakkonsistenan guru dalam praktik perilakunya di depan kelas.  Di satu sisi guru menginginkan jawaban yang mendalam ketika siswa menjawab pertanyaan di sisi lain guru menunjukkan ketidaksabarannya menunggu siswa menjawab.
            Pada sisi lain, terdapat perubahan perilaku pada pertengahan proses pembelajaran. Guru mengubah fungsinya dalam koridor paradigma konvensional ke paradigma nonkonvensional. Guru mengubah struktur interaksi di dalam kelas. Guru mulai memberdayakan siswanya. Dengan demikian, guru lebih banyak berlaku sebagai fasilitator dan motivator.  
Praktik-praktik sosial yang dilakukan guru di dalam kelas seperti yang tergambarkan di dalam penelitian ini dapat dipastikan bukan muncul begitu saja melainkan merupakan konstelasi dari permasalahan pendidikan di Indonesia yang “centang perenang” dari waktu ke waktu yang melibatkan banyak faktor seperti kualitas guru, kelas yang besar, perhatian pemerintah terhadap pendidikan yang minim, dan idiologi yang dipengaruhi sosiokultural.
Saran
Penelitian ini dilakukan pada tingkat sekolah dasar sehingga ditemukan praktik-praktik hegemoni, otoritas tinggi, peminggiran, dan dominasi guru. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian di sekolah yang lebih tinggi tingkatnya untuk melihat apakah praktik-praktik hegemoni, otoritas, peminggiran, dan dominasi guru masih terjadi pada tingkat yang lebih tinggi. Mungkin guru menganggap siswa sekolah dasar belum dapat mandiri, belum memiliki wawasan yang luas sehingga perlu “dibebani” oleh sejumlah aturan yang justru dapat memasung aktivitas dan kreativitas siswa.

DAFTAR  ACUAN
Coulthard, M. 1977. An Introduction to Discourse Analysis. Harlow: Longman Group Limited.

Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. Thousand Oaks: Sage Publications.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.

Indrawati, Sri. 2003. Pola Pertukaran dalam Wacana Interaksi Kelas. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.5, No. 1 Desember 2003.

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana. Teori & Metode. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

McCarthy, M. 1991. Discourse Analysis for Language Teachers. Cambridge: Cambidge Uniersity Press.

Purnomo, Mulyadi Eko. 2003. Analisis Wacana Kritis dan Penerapannya. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.5, No. 1 Desember 2003.

Stenstrom, Anna-Brita. 1994. An Introduction to Spoken Interaction. London: Longman.

Struever, N. S. 1985. Historical Discourse. Handbook of Discourse Analysis. Dalam Teun A. Van Dijk (Ed.) London: Academic Press. Vol. 1.

Writing Lesson Plans . Teachers’ Roles http://www.huntington.edu/education/lessonplanning/roles.html Diakses pada tanggal 13 Juni 2007.



· Dosen  Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan   
   Seni FKIP Unsri.

Studi Kasus terhadap Penggunaan Silabus Bahasa Indonesia di Kota Palembang: Antara Harapan dan Kenyataan


Studi Kasus terhadap Penggunaan Silabus Bahasa Indonesia di Kota Palembang: Antara Harapan dan Kenyataan

Nurhayati  

Abstrak: Masalah penelitian ini ialah apakah masing-masing Satuan Pendidikan telah menyusun silabus sebagai salah satu perangkat kurikulum? Apakah silabus yang digunakan telah memenuhi harapan para penggunanya yaitu guru serta sasarannya yaitu siswa? Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode studi kasus. Tipe studi kasus yang digunakan ialah studi kasus evaluatif. Hasil identifikasi kebutuhan terhadap silabus pembelajaran bahasa Indonesia untuk SMP menunjukkan bahwa guru kurang setuju terhadap silabus yang sedang berjalan. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan pada beberapa hal yaitu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, aspek-aspek pembelajaran bahasa, materi pembelajaran, ragam bahasa, metodologi yang meliputi pendekatan dan metode, sumber belajar, dan penilaian. Berdasarkan kesimpulan tersebut sudah saatnya disusun dan dikembangkan silabus misalnya melalui MGMP dibantu unsur-unsur terkait seperti LPMP, masyarakat, dan Pemerintah Daerah. Penyusunan silabus  tersebut mempertimbangkan analisis kebutuhan (need assessment) pihak pengguna dan stake holders serta teori-teori terkait yang relevan.

        Kata-kata Kunci: studi kasus, silabus bahasa Indonesia

Latar Belakang
Berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kemampuan siswa  termasuk siswa Sekolah Menengah Pertama dalam berbahasa Indonesia rendah. Kemampuan berbahasa yang rendah tersebut bukan hanya tergambarkan dalam empat aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis, melainkan juga dapat dilihat dari nilai ujian nasional (UN). 
Bila dikaitkan dengan UN, nilai pembelajaran bahasa Indonesia menjadi penyebab dominan bagi ketidaklulusan siswa SMP/MTs/SMP Terbuka se-Sumatera Selatan dalam UN tahun pelajaran 2007/2008. Dari 99.146 siswa se-Sumatera Selatan terdapat 1.397 siswa (1,41 %) yang gagal dalam UN. Dilihat dari perolehan nilai semua pembelajaran yang diuji pada UN tersebut, nilai pembelajaran bahasa Indonesia paling rendah. Bahkan dari 1.397 siswa yang tidak lulus UN, terdapat 560 siswa yang mendapat nilai pembelajaran bahasa Indonesia antara 3,00--4,24. Nilai rata-rata bahasa Indonesia hanya 6,75 jauh di bawah bahasa Inggris yang memiliki rata-rata 7,27, matematika 7,11, dan IPA 7,60 (Sumatera Ekspress,  2008: Hal. 17 dan 27 Kolom 2--4).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Indonesia. Upaya itu antara lain dilakukan melalui pembaharuan kurikulum, pengimplementasian pendekatan yang sesuai dengan hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa, dan pengembangan silabus. 
 Silabus merupakan salah satu komponen penting walaupun komponen lain seperti komponen guru juga sangat menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran. Silabus yang disusun dengan baik dapat menjadi kunci bagi kesuksesan pengajaran. Dengan silabus yang baik, guru bersama siswa akan lebih mudah mencapai  tujuan  pembelajaran seperti yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Silabus merupakan sumber informasi. Selain sebagai informasi penting, silabus yang berorientasi kepada siswa juga dapat menjadi alat belajar yang penting yang akan memperkuat tujuan, peran, sikap, dan strategi yang akan digunakan oleh guru untuk mendapat pengajaran yang aktif, bermanfaat,dan efektif (http://www.usc.edu/programs/cet/resources/creating syllabi/).
Dewasa ini, pada dasarnya sekolah atau daerah   memiliki kewenangan untuk merancang dan menentukan silabus sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Guru diberi kebebasan dalam mengembangkan silabus sehingga kreativitas guru semakin terbuka dan terakomodasi. Sebelumnya guru hanya mengajarkan materi yang telah ditetapkan dalam silabus nasional yang dibuat pemerintah. Sekarang, guru diberi ruang dan kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi peserta didiknya. Guru tidak lagi didikte untuk mengajarkan materi  yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan uraian tersebut, masalah penelitian ini ialah apakah masing-masing Satuan Pendidikan telah menyusun silabus sebagai salah satu perangkat kurikulum? Apakah silabus yang digunakan telah memenuhi harapan para penggunanya yaitu guru serta sasarannya yaitu siswa? Tulisan ini menguraikan keadaan yang terjadi di lapangan  yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun tulisan ini hanya berfokus kepada mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama.  
Agar dapat memenuhi fungsinya sebagai salah satu kunci bagi kesuksesan pembelajaran, silabus harus memenuhi kriteria tertentu. Salah satu kriteria penting itu ialah terdapat  kesesuaian dengan kebutuhan siswa dan guru. 
Analisis kebutuhan (needs analysis) disebut juga needs assessment mengacu kepada kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengumpulan informasi yang akan digunakan sebagai dasar bagi penyusunan silabus (Brown, 1995:35).
Pelopor utama bagi penggunaan analisis kebutuhan ialah Richterich dan Chancerel. Analisis kebutuhan merupakan proses awal dalam penentuan tujuan-tujuan perilaku tertentu yang akan dicapai. Dari tujuan-tujuan perilaku ini kemudian dijabarkan ke dalam aspek-aspek penyusunan silabus seperti fungsi, nosi, topik, leksikal, dan komponen-komponen struktural. Selanjutnya Richard dikutip Nunan (1992:43) menyatakan bahwa analisis kebutuhan memiliki tiga tujuan utama yakni (1) dapat digunakan sebagai sarana pemerolehan input yang lebih luas tentang isi, desain, dan implementasi tentang program bahasa; (2) dapat digunakan untuk mengembangkan tujuan dan isi program; (3) dapat menyediakan data bagi penelaahan dan penilaian program yang sedang berjalan.
Analisis kebutuhan siswa merupakan hal yang penting dalam penyusunan silabus (Cunningsworth, 1995:38). Hal ini juga dikemukakan oleh Munby (1981:3)  “. . . the syllabus and materials are determined in all essentials by the prior analysis of the communication needs of the learner . . . .” 
Dari beberapa pernyataan tersebut terlihat bahwa analisis kebutuhan merupakan aspek penting dalam menyusun sebuah silabus.
           Richards, Platt, dan Weber menyatakan bahwa analisis kebutuhan berguna dalam rangka mencari informasi yang berkaitan dengan (1) tujuan-tujuan belajar bahasa, (2) tipe-tipe komunikasi yang akan digunakan (aspek tulis, lisan, formal atau nonformal), (3) tingkat kecakapan yang diperlukan (Brown, 1995:42) dan (4) tipe-tipe dan hakikat teks yang diperlukan oleh siswa dalam pembelajaran serta (5) kekuatan dan kelemahan siswa dalam pembelajaran (Cunningsworth, 1995:40--42).
Merujuk kepada sejumlah teori yang dikemukakan di atas analisis kebutuhan dalam penyusunan silabus seyogyanya mengarah kepada aspek-aspek (1) hakikat dan tujuan pembelajaran bahasa, (2) ragam bahasa yang akan diajarkan, (3) isi atau topik-topik materi yang akan dipelajari, (4) strategi dan metode yang akan digunakan, dan (5) penilaian. Komponen-komponen itu merupakan komponen yang penting dalam penyusunan silabus bahasa.
Faktor-faktor yang tetap diperhitungkan dalam penyusunan silabus ialah tujuan yang akan dicapai, isi, organisasi, dan penilaian. Apabila tujuan pembelajaran telah diperoleh, penyusun akan mengarahkan materi/isi (content) pembelajaran ke arah pencapaian tujuan tersebut. Materi diseleksi dan disusun berdasarkan konsep kemudahannya yakni dari yang mudah ke yang sulit dan dari aspek kebermanfaatannya bagi siswa. Organisasi berkaitan dengan strategi atau lebih spesifik yaitu teknik pembelajaran untuk mencapai tujuan. Untuk mengetahui apakah tujuan dan isi/materi telah dicapai diperlukan alat penilaian (Richards, 2005:39).

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode studi kasus. Tipe studi kasus yang digunakan ialah studi kasus evaluatif. Stenhouse dikutip Nunan (2003:78) menyatakan studi kasus evaluatif sebagai “An investigation carried out in order to evaluate policy or practice.  Dengan demikian, penelitian ini berusaha melakukan investigasi terhadap praktik kebijakan yang telah digulirkan, bagaimana kebijakan itu diimplementasikan, dan bagaimana hasilnya.  Kebijakan yang dimaksud di dalam penelitian ini ialah kebijakan digulirkannya KTSP dengan konsekuensi bahwa setiap Satuan Pendidikan menyusun kurikulum sendiri beserta perangkatnya. Di dalam penelitian ini fokusnya ialah penyusunan silabus mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP.
Data penelitian ialah silabus yang digunakan oleh guru SMP di Kota Palembang, data proses pembelajaran, data hasil belajar, dan data identifikasi kebutuhan siswa dan guru. Teknik pengumpulan data melalui (1) studi dokumen terhadap silabus pembelajaran bahasa Indonesia yang sedang berjalan, (2) observasi terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan silabus yang sedang berjalan, (2) angket dan wawancara tentang analisis kebutuhan guru dan siswa, dan (3) wawancara tentang dokumen silabus yang sedang berjalan, proses pembelajaran dengan menggunakan silabus yang sedang berjalan, dan hasil pembelajaran yang telah berlangsung.
Teknik pengolahan data ialah data yang diperoleh dari wawancara dan observasi dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi. Sementara itu, data hasil belajar dikelompokkan dalam tabel klasifikasi. Data yang diperoleh melalui angket dianalisis secara kuantitatif deskriptif dalam bentuk persentase. 
Sumber data penelitian ini terdiri atas (1) para siswa SMP di Kota Palembang sejumlah 90 orang,  dan (2) guru-guru SMP di Kota Palembang sejumlah 36 orang.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berikut dikemukakan data hasil wawancara kepada para guru, hasil belajar, hasil observasi terhadap pembelajaran dengan menggunakan silabus yang sedang berjalan, dan hasil analisis kebutuhan siswa dan guru serta pembahasannya.
1.  Wawancara kepada Guru
Dari wawancara yang ditujukan kepada guru-guru pembelajaran bahasa Indonesia yang berada di kota Palembang pada tanggal 26--27 April 2008 dapat diketahui hal berikut. Para guru tidak membuat silabus untuk  memulai pembelajaran bahasa Indonesia. Alasan mereka tidak menyusun silabus ialah  karena tidak mengetahui cara menyusun silabus dan merasa tidak cukup waktu untuk menyusunnya.
Dari wawancara kepada para guru bahasa Indonesia tingkat SMP di kota Palembang diperoleh data bahwa sekolah-sekolah di SMP Kota Palembang (1) menggunakan silabus yang diterbitkan Depdiknas tahun 2006 (2) menggunakan silabus bahasa Indonesia yang ada dalam buku bahan ajar yang dikeluarkan oleh salah satu penerbit, sehingga buku ajar itu adalah silabus, dan (3) ada juga sebagian kecil guru yang menyatakan bahwa silabus yang dipakainya adalah buku ajar itu sendiri.
Dari wawancara juga diperoleh data bahwa umumnya guru menggunakan silabus model (contoh) yang diterbitkan Depdiknas tahun 2006. Atau dengan kata lain, silabus ini menjadi silabus acuan guru-guru di Kota Palembang. Silabus yang diterbit oleh Depdiknas ini di dalam penelitian disebut sebagai silabus yang sedang berjalan.

2. Hasil Belajar Siswa dengan Silabus yang sedang Berjalan
            Berikut dikemukakan nilai hasil belajar siswa dengan menggunakan silabus yang sedang berjalan.
Tabel 1  Nilai Hasil Belajar Siswa
Nomor
Nilai
F
%
1.
80
1
0,8
2.
70--79
17
14,2
3.
60--69
65
54
4.
55--59
37
31
Jumlah
120
100

Data hasil belajar pada semester I tahun ajaran 2008/2009.

            Dari data di atas diketahui bahwa hasil belajar siswa termasuk dalam kategori sedang karena 65 orang mendapat nilai 60--69 (54 %) sedangkan siswa  yang mendapat nilai 80 hanya 1 orang (0,8 %) dan yang mendapat nllai 70--79  sejumlah 17 orang (14,2 %) serta sebanyak 37 orang memperoleh nilai dalam kategori kurang yaitu  nilai 55--59 (31 %).
            Nilai hasil belajar tersebut meliputi nilai pada aspek mendengarkan, berbicara, dan menulis. Pada aspek mendengarkan, siswa diminta menyimpulkan isi berita yang dibacakan guru dalam beberapa kalimat. Pada aspek berbicara, siswa diminta melaporkan secara lisan suatu peristiwa sedangkan pada aspek menulis, siswa diminta menulis laporan perjalanan yang dialaminya.
Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang hasil belajar siswa tersebut, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa orang siswa yang telah mengikuti tes hasil belajar pada semester 1 terutama untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang mereka alami ketika mengikuti tes. Sebagian besar mereka menyatakan bahwa pada aspek mendengarkan mereka sulit menangkap ide-ide pokok materi yang diperdengarkan. Selain itu kesulitan yang mereka rasakan ialah mengungkapkan kembali isi materi yang diperdengarkan dengan kalimat mereka sendiri. Oleh sebab itu, mereka mengharapkan agar latihan menangkap ide-ide pokok dan mengalimatkan ide-ide yang telah diperdengarkan sering dilatihkan.
Pada aspek berbicara, semua siswa merasakan gugup ketika diminta ke depan kelas. Ketika di depan kelas mereka merasakan sulit untuk mengeluarkan kalimat demi kalimat walaupun sebelumnya sudah diberi kesempatan untuk menyiapkan diri dan telah menulis pokok-pokok yang akan dilaporkan di depan kelas.
Pada aspek menulis, seluruh siswa merasakan kegiatan menulis merupakan kegiatan yang paling sulit.  Kendala yang mereka hadapi ialah mengingat kembali hal-hal penting perjalanan yang telah mereka lakukan dan menuliskannya. Selain itu, mereka kesulitan mengalimatkan hal-hal penting itu dengan kalimat yang baik. Mereka merasa selama ini latihan mengalimatkan ide-ide yang mereka miliki sangat kurang. Guru lebih banyak memberi latihan menulis tanpa mereka mengetahui bagaimana memulai tulisannya dan bagaimana membentuk kalimat-kalimat yang baik. Lebih jauh lagi jarang mereka mendiskusikan kalimat yang telah mereka buat apakah benar atau salah. Dengan demikian, mereka merasa perlu guru membimbing mereka dalam menulis dengan kalimat-kalimat yang baik dan benar. Mereka juga mengharapkan agar tulisan yang telah mereka buat didiskusikan bersama-sama dan jika telah direvisi agar dipublikasikan misalnya  lewat gabus pajangan di dinding kelas.
3.  Observasi  Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia
            Berikut uraian pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan silabus yang sedang berjalan (hasil observasi peneliti tanggal 24 Juli 2008). 
a.  Strategi Mengajar Guru pada Aspek Menulis
            Di dalam pelaksanaan pembelajaran menulis guru melakukan kegiatan (1) menulis di papan tulis Kompetensi Dasar (KD) yaitu menulis laporan dengan bahasa yang baik dan benar dan menuliskan indikator yakni mampu menyusun kerangka karangan laporan berdasarkan urutan ruang, waktu atau tema; (2) menghubungkan materi lama yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan, (3) meminta siswa membaca buku teks pada halaman tertentu yang memberikan contoh laporan perjalanan, (4) menjelaskan secara umum cara membuat kerangka karangan laporan, (5) meminta siswa memberi contoh pembukaan laporan berdasarkan urutan ruang secara lisan, (6) meminta siswa  secara bergiliran menulis di papan tulis contoh kerangka karangan berdasarkan pola 5 W + 1 H, (7) meminta siswa membuat laporan perjalanan secara utuh berdasarkan kerangka karangan yang telah disusun, (8) melihat siswa menulis dengan berkeliling kelas.
b. Strategi Belajar Siswa pada Aspek Menulis
            Di dalam pelaksanaan pembelajaran menulis, siswa melakukan kegiatan (1) menulis (KD), (2) mendengarkan penjelasan guru, (3) membaca buku teks berisikan contoh laporan perjalanan, (4) mendengarkan penjelasan cara membuat kerangka karangan laporan, (5) maju ke depan kelas dan menulis di papan tulis contoh kerangka karangan berdasarkan pola 5 W + 1 H, (7) menulis laporan perjalanan berdasarkan kerangka karangan yang telah disusun.
c. Strategi Mengajar Guru pada Aspek Berbicara
            Kegiatan guru mengajar pada aspek berbicara ialah (1) menjelaskan KD yakni melaporkan secara lisan berbagai peristiwa dan menjelaskan indikatornya yakni mampu mendeskripsikan peristiwa dengan kalimat yang jelas, (2) menanyakan siswa apakah pernah menonton  televisi atau mendengar radio khususnya mendengar reporter melaporkan suatu peristiwa yang sedang terjadi, (3) menjelaskan bahwa dalam laporan kejadian atau peristiwa tersebut terdapat unsur 5 W + 1H dan menguraikan unsur-unsur itu, (4) memberi contoh selintas tentang laporan pertandingan olah raga dan memberi contoh topik yang dapat dilaporkan, (5) menegaskan kembali bahwa setiap laporan harus memiliki unsur 5 W + 1 H, (6) meminta siswa berkelompok untuk membahas tugas melaporkan peristiwa, (7) menjelaskan pengertian “peristiwa”, (8) membagikan modul yang berisikan contoh laporan peristiwa, (9) berkeliling kelas melihat siswa berdiskusi dan memberi semangat agar siswa segera menulis laporan peristiwa yang dialami dan menunjuk wakil kelompoknya untuk maju ke depan kelas, (10) meminta siswa maju ke depan kelas untuk melaporkan peristiwa yang telah didiskusikan di kelompok masing-masing, (11) memberi tugas agar siswa membuat laporan peristiwa di sekitarnya.
d. Strategi Belajar Siswa pada Aspek Berbicara
            Dalam kaitan dengan langkah prosedural proses mengajar guru di atas, hal-hal yang dilakukan siswa ketika belajar di kelas pada aspek berbicara ialah (1) menulis KD dan mendengarkan indikatornya, (2) menjawab pertanyaan guru, (3) mendengarkan penjelasan guru tentang 5 W + 1H dan uraian unsur-unsur itu, (4) mendengarkan contoh laporan dan topik laporan yang dijelaskan guru, (5) mendengarkan penegasan guru tentang 5 W + 1 H, (6) berkelompok untuk membahas tugas melaporkan peristiwa, (7) mendengarkan penjelasan pengertian “peristiwa”, (8) membaca modul yang dibagikan, (9) menulis laporan peristiwa yang dialami, (10) maju ke depan kelas untuk melaporkan peristiwa yang telah didiskusikan di kelompok masing-masing.
e. Strategi Mengajar Guru pada Aspek Mendengarkan
             Kegiatan guru mengajar pada aspek mendengarkan ialah (1) menuliskan KD di papan tulis yakni “menyimpulkan isi berita yang diperdengarkan atau dibacakan”, (2) mendiktekan bagaimana  menjadi pendengar atau pemirsa yang baik serta menjelaskan bahwa berita berisikan unsur 5 W + 1 H, (3) meminta siswa menulis pokok-pokok isi berita dari berita yang akan dibacakan guru, (4) mendiktekan berita olahraga dan mengulanginya, (5) meminta siswa ke depan kelas menuliskan isi berita yang telah didiktekan, (6) mendiktekan simpulan isi berita.
f. Strategi Belajar Siswa pada Aspek Mendengarkan
            Sejalan dengan kegiatan yang dilakukan guru ketika mengajar pada aspek mendengarkan, siswa melakukan kegiatan berikut (1) menulis KD dan menulis berita yang didiktekan guru, (2) maju ke depan dan menulis isi berita di papan tulis, (3) menulis simpulan isi berita.
Dari kegiatan mengajar dan belajar yang dideskripsikan di atas dapat dikemukakan bahwa peranan guru masih terlihat dominan sedangkan siswa lebih banyak mendengarkan dan menunggu inisiatif dari guru. Selain itu, tidak seluruh siswa mendapat giliran menunjukkan performansinya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hanya 5--9 siswa yang mendapat giliran untuk maju ke depan kelas dalam rangka memperlihatkan hasil kerjanya.  
3. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan terhadap guru dan siswa meliputi aspek-aspek (1) hakikat dan tujuan pembelajaran bahasa, (2) ragam bahasa yang akan diajarkan, (3) isi atau topik-topik materi yang akan dipelajari, (4) strategi dan metode yang akan digunakan, dan (5) penilaian.
a. Analisis Kebutuhan Guru
Analisis kebutuhan dilakukan dengan instrumen angket dan wawancara  (tanggal 21--26 April 2008) kepada para guru bahasa Indonesia di SMP Kota Palembang, Hasilnya sebagai berikut.
1) Pendapat Guru Terhadap Silabus yang sedang Berjalan
        Berdasarkan data angket tentang pendapat para guru terhadap silabus yang sedang berjalan ditemukan bahwa sebanyak 75 % menyatakan kurang setuju dengan silabus yang sedang berjalan karena belum memenuhi harapan para guru, dan sebanyak 15 % menyatakan setuju terhadap silabus yang sedang berjalan dan sebanyak 10 % menyatakan sangat setuju terhadap silabus yang sedang berjalan. Lebih jauh dapat diketahui pendapat guru tentang silabus yang sedang berjalan melalui jawaban angket dan wawancara berikut.
2) Tujuan Pembelajaran Bahasa
            Pernyataan guru tentang tujuan pembelajaran bahasa yang sesuai dengan kebutuhan mereka ialah sebanyak 75 % menyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di samping agar siswa dapat berbahasa baik lisan maupun tulisan juga meliputi pengetahuan bahasanya.
Lebih rinci tentang kebutuhan guru terhadap tujuan pembelajaran bahasa Indonesia tersebut diperoleh dari wawancara. Dari wawancara diketahui bahwa guru mengharapkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia ialah agar siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia melalui empat keterampilan yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis tanpa mengesampingkan unsur tata bahasanya. Selain itu, diharapkan agar tumbuh kesadaran pentingnya bahasa dan sastra Indonesia. Diharapkan pula pembelajaran bahasa Indonesia dapat menjadi alat dalam mengerjakan pelajaran lainnya.
3) Aspek-Aspek Pembelajaran Bahasa           
            Jumlah persentase guru yang menyatakan kurang setuju terhadap silabus yang sedang berjalan mencapai 70 % karena silabus berfokus kepada aspek keterampilan berbahasa dan bersastra. Sebanyak 25 % setuju jika silabus yang sedang berjalan berfokus kepada aspek keterampilan berbahasa dan bersastra sedangkan sisanya 5 % menyatakan sangat setuju jika silabus yang sedang berjalan berfokus kepada aspek berbahasa dan bersastra tersebut.
Sebanyak 75 % guru menginginkan agar silabus bahasa Indonesia tidak hanya berfokus kepada aspek keterampilan berbahasa dan bersastra  melainkan juga kepada aspek pengetahuan bahasa.
Hal ini didukung oleh pernyataan guru tentang model silabus yang dianggap cocok dan diinginkan guru. Sebanyak 90 % guru menginginkan model pengembangan silabus campuran yang memadukan antara aspek pengetahuan bahasa, keterampilan berbahasa dan bersastra, dan topik. 
Dari wawancara kepada guru diperoleh pernyataan bahwa silabus hendaknya berorientasi kepada perpaduan antara empat keterampilan berbahasa, bersastra, dan struktur bahasa.
4)  Materi Pembelajaran
          Sebanyak 70 % guru menyatakan setuju jika topik-topik yang berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari seperti cara membuat telur dadar, memberi petunjuk cara membuat makanan khas Palembang, membaca cepat dengan pemahaman yang tepat, dan menulis memori tentang masa kecil.
Dari wawancara peneliti kepada para guru bahasa Indonesia SMP kota Palembang diketahui bahwa materi pembelajaran yang dibutuhkan mencakup (1) komposisi kalimat, (2) pengembangan paragraf, (3) dan   menulis karangan utuh. Selain itu, materi seyogyanya disusun dengan memperhatikan prinsip skala prioritas, gradasi (pentahapan), dan menunjukkan hasil belajar yang kritis.
5)    Metodologi: Pendekatan dan Metode
Penilaian guru menunjukkan bahwa sebesar 65 % menyatakan kurang setuju terhadap pendekatan yang terdapat di dalam silabus yang sedang berjalan. Silabus yang sedang berjalan menggunakan pendekatan komunikatif dan apresiatif. Sementara itu, sebesar 90 % guru menginginkan pendekatan yang memadukan pendekatan struktural, pendekatan apresiatif, komunikatif, dan pragmatik. 
Mengenai rancangan strategi pembelajaran bahasa Indonesia yang terdapat dalam silabus yang sedang berjalan, 50 % guru menyatakan setuju bahwa silabus berpusat kepada siswa (student centered) sedangkan 50 % kurang setuju berpusat kepada siswa.
Dari wawancara diketahui bahwa guru menginginkan agar proses pembelajaran pada tingkat SMP masih memerlukan peran guru terutama ketika proses awal pembelajaran. Misalnya untuk menjelaskan bagaimana proses menulis laporan dan bagaimana pengalimatannya sehingga kalimat laporan menjadi baik dan benar.
6)    Ragam Bahasa
            Sebanyak 80 % guru menyatakan kurang setuju terhadap silabus yang sedang berjalan karena memfokuskan belajar bahasa pada aspek lisan dan tulisan ragam formal. Mereka sangat setuju (60 %) jika silabus bahasa Indonesia terdapat  bahasa ragam nonformal.
Dari wawancara diketahui bahwa secara umum orang menganggap di sekolah cukup dipelajari bahasa Indonesia ragam formal sedangkan ragam nonformal dianggap dapat diperoleh siswa di masyarakat. Padahal dalam kenyataannya, ragam nonformal perlu dipelajari dalam kaitan dengan aktivitas siswa di masyarakat. Guru memberikan contoh misalnya ketika seseorang memandu acara ulang tahun diperlukan ragam nonformal. Oleh sebab itu, ragam nonformal dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu diberikan kepada siswa.  
7)    Penilaian
            Aspek penilaian hasil belajar yang diinginkan guru dalam pengembangan silabus ialah penilaian berdasarkan produk hasil belajar dan proses. Secara rinci dapat dikatakan bahwa 90 % guru mengingingkan penilaian yang terdapat dalam silabus berorientasi baik dari aspek produk maupun proses. Sementara itu, sejumlah 10 % guru menginginkan penilaian lebih mementingkan proses belajar.
Dari wawancara diketahui bahwa dalam pembelajaran tertentu seperti menulis tidak dapat hanya mementingkan produk hasil belajar namun harus juga memperhatikan proses karena siswa masih dalam proses belajar menulis.
b. Analisis Kebutuhan Siswa
Analisis kebutuhan dengan responden siswa dilakukan melalui instrumen angket dan wawancara (tanggal 28 April 2008). Hasilnya berikut ini.
Sebanyak 58 % siswa menyatakan bahwa tujuan mereka mempelajari bahasa Indonesia ialah agar dapat berkomunikasi secara efektif dan sebanyak 47 % mengemukakan bahwa mereka menginginkan agar tumbuh kesadaran tentang pentingnya bahasa dan sastra Indonesia. Sebanyak 38 % siswa juga berpandangan bahwa mereka perlu mendapat bekal tentang pengetahuan bahasa. 
Hal ini didukung dari wawancara tentang harapan mereka terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. Harapan mereka dalam belajar bahasa Indonesia ialah agar mereka dapat berkomunikasi dengan baik dan benar baik dalam aspek lisan maupun tulisan. Selain itu, mereka mengharapkan dapat mengembangkan bakat dan hobi seperti menulis puisi, cerpen, dan menulis artikel serta berpidato dan membawakan acara. Aspek tata bahasa sangat penting bagi mereka terutama ketika menulis karya ilmiah. Ketika menulis, mereka merasa sulit mengemukakan ide ke dalam kalimat-kalimat yang benar.
Berkaitan dengan penyusunan silabus, sepengetahuan siswa guru bahasa Indonesia membuat silabus (56 %) sedangkan 44 % siswa menyatakan bahwa guru tidak membuat silabus. Pada sisi lain, siswa menyatakan bahwa 52 % guru bahasa Indonesia tidak menunjukkan dan memberikan silabus kepada siswa sebelum pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung.
Hasil angket menunjukkan bahwa 63 % siswa suka terhadap pelajaran bahasa Indonesia dan mereka memperhatikan pembelajaran bahasa  Indonesia (51 %). Sejumlah 63 % siswa berpendapat bahwa pembelajaran bahasa Indonesia mudah dan 37 % siswa menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia sulit. Dari wawancara diketahui bahwa yang menyebabkan siswa menganggap pembelajaran bahasa Indonesia sulit ialah terutama pada aspek menulis.  Sementara itu, 52 % siswa setuju bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMP adalah agar siswa memiliki keterampilan berbahasa yang meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dan pengalaman bersastra. Namun di samping keterampilan berbahasa dan bersastra tersebut, siswa juga memerlukan pengetahuan bahasa seperti tentang pengalimatan dan tanda baca. Hal ini diperlihatkan dengan tingginya persentase siswa yang menyatakan bahwa mereka memerlukan sekali tentang pengetahuan bahasa itu yakni 80 %. Hanya 3% siswa yang menyatakan bahwa mereka tidak memerlukan pengetahuan bahasa.    
Berkaitan dengan metode mengajar yang dipakai oleh guru bahasa Indonesia, seluruh siswa (100 %) berpendapat bahwa metode mengajar guru menekankan keaktifan siswa dalam belajar sedangkan guru membimbing. Siswa merasa hasil belajar bahasa Indonesia memuaskan (59 %) dan sejumlah 28 % berpendapat hasil belajar bahasa Indonesianya sangat memuaskan.
4. Pembahasan Penelitian
Berdasarkan data yang diperoleh dari analisis silabus yang sedang berjalan, observasi proses pembelajaran dengan silabus yang sedang berjalan, dan analisis kebutuhan dapat dikemukakan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Data angket menunjukkan bahwa guru kurang setuju dengan silabus yang sedang berjalan.
            Kesenjangan  tersebut  ditandai dari beberapa hal yaitu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, aspek-aspek pembelajaran bahasa, materi pembelajaran, ragam bahasa, metodologi yang meliputi pendekatan dan metode serta sumber belajar, dan penilaian.
a. Tujuan Pembelajaran
Dari data dokumen silabus yang sedang berjalan diketahui bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia ialah siswa memiliki kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Sementara itu, dari analisis kebutuhan diketahui bahwa siswa dan guru menginginkan secara umum siswa dapat berkomunikasi secara efektif. Mampu berkomunikasi tersebut mencakup lisan dan tulisan. Agar dapat menggunakan bahasa baik lisan dan tulisan diperlukan adanya kemampuan di bidang kebahasaan sehingga penggunaan bahasa dilakukan dengan cermat. Selain itu, siswa menginginkan tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya bahasa dan sastra Indonesia. Penumbuhan kesadaran tentang pentingnya bahasa dan sastra dapat dimunculkan lewat pemanfaatan karya sastra yang diaplikasikan ke dalam empat aspek keterampilan yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian, kegiatan apresiasi terhadap bahasa dan sastra Indonesia menjangkau aspek pemahaman (mendengarkan dan membaca) dan aspek produktif  (berbicara dan menulis). Terakhir, dari analisis kebutuhan diketahui bahwa siswa menginginkan agar bahasa Indonesia menjadi sarana untuk  memperoleh informasi baik berupa ilmu pengetahuan dan menjadi sarana untuk menjelaskan pikiran.
Tabel 2 Tujuan Pembelajaran antara Silabus yang sedang Berjalan
                     dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Siswa (Hasil Analisis Kebutuhan)
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Agar siswa mampu:  berbahasa dan bersastra yang meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. .
-   Agar dapat berkomunikasi secara efektif .
-   Agar tumbuh kesadaran tentang pentingnya bahasa dan sastra Indonesia.
-   Agar mendapat bekal tentang pengetahuan bahasa.
-   Agar memperoleh ilmu pengetahuan dengan menguasai bahasa Indonesia.
Agar siswa:
- mampu menggunakan bahasa Indonesia: mendengarkan; berbicara, membaca, dan menulis baik lisan maupun tulisan;
-  memiliki pengetahuan tata bahasa;
-  tumbuh kesadaran pentingnya bahasa dan sastra Indonesia;
-  mendapat informasi lewat bahasa.


b. Aspek-Aspek Pembelajaran Bahasa
Berdasarkan studi dokumen terhadap silabus yang sedang berjalan diketahui bahwa aspek-aspek pembelajaran bahasa yang dikaitkan dengan keteramplan berbahasa mencakup empat bidang yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian, materi-materi yang disusun termasuk materi kesastraan diarahkan dalam rangka mengasah keempat keterampilan berbahasa tersebut.
Dari hasil analisis kebutuhan siswa dan guru terungkap adanya keinginan agar aspek-aspek pembelajaran bahasa tetap diarahkan kepada empat keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis namun aspek kebahasaan seperti unsur-unsur gramatikal, struktur kalimat, dan masalah mekanis ejaan tetap dipertimbangkan dalam setiap kegiatan penggunaan bahasa. Dengan demikian, apabila siswa akan melakukan kegiatan berbahasa terutama dalam kegiatan berbahasa formal guru akan menjelaskan/menegaskan pentingnya pengalimatan yang benar. Hal itu dilakukan guru misalnya dalam kegiatan menulis karangan deskriptif. Untuk menulis karangan deskriptif diperlukan kalimat-kalimat berita. Oleh sebab itu guru akan memberikan contoh kalimat-kalimat berita yang mendeskripsikan sesuatu dengan penggunaan kalimat yang tepat. Guru menyatakan bahwa mereka bukan berarti berfokus kepada struktur kalimat dalam pembelajarannya. Mereka menyatakan bahwa apabila siswa hanya diminta menulis saja tanpa dijelaskan bagaimana penggunaan kalimat yang baik dan benar akan menyebabkan siswa membuat tulisan yang kacau dari segi struktur kalimat dan ejaan. Alhasil tulisan siswa biasanya sulit dipahami karena kalimat-kaimatnya tidak efektif dan terjadi penumpukan ide dalam satu kalimat. Ejaan yang kacau dalam kalimat-kalimat siswa juga menjadi pekerjaan yang tidak kunjung selesai yang tetap harus dibenahi oleh guru.
Guru menginginkan adanya penambahan kolom kebahasaan sekaligus kesastraan dalam format desain silabus. Tujuannya agar mereka tahu unsur-unsur gramatikal yang mana dan struktur kalimat apa yang akan mereka jelaskan atau digunakan oleh siswa dalam kegiatan berbahasanya. Selama ini mereka merasa “terbelenggu” untuk menjelaskan penggunaan kalimat karena tidak tercantum secara eksplisit  (tidak ada kolomnya) dalam silabus. Guru menghendaki dinyatakan secara eksplisit dengan menambah kolom khusus pada aspek kebahasaan/kesastraan.
Begitu juga halnya siswa, mereka mengangap perlu adanya diskusi tentang struktur kalimat dan EYD dari setiap kegiatan produktif yang mereka lakukan. Bahkan dari wawancara ada yang mengusulkan diadakan tes tersendiri tentang struktur kalimat walaupun itu dilakukan hanya sekali misalnya dalam satu semester. Hal itu berguna agar mereka belajar lebih mendalam tentang struktur kalimat dan juga mengingatkan mereka agar tidak menyepelekan aspek kebahasaan.
Tabel 3  Aspek-Aspek Pembelajaran Bahasa antara Silabus yang
                       sedang Berjalan dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Siswa (Hasil Analisis Kebutuhan)
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Empat keterampilan berbahasa dan bersastra.
-   Empat keterampilan berbahasa dan bersastra serta pengetahuan bahasa.
-   Empat keterampilan berbahasa dan bersastra serta pengetahuan bahasa.

c. Ragam Bahasa
Dari analisis terhadap silabus yang sedang berjalan diketahui bahwa silabus lebih cenderung kepada penggunaan bahasa Indonesia  ragam formal      baik       penggunaan      bahasa        secara      lisan      maupun tulisan. Di dalam silabus misalnya tidak terdapat materi yang secara tegas mengacu kepada penggunaan bahasa ragam nonformal. Silabus hanya menyarankan penggunaan bahasa yang baik dan benar atau sesuai dengan konteks.
Dari analisis kebutuhan siswa dan guru terungkap keinginan ditegaskan adanya materi yang menyebabkan siswa menggunakan bahasa ragam nonformal. Misalnya membawa acara ulang tahun teman. Acara tersebut dengan jelas termasuk kelompok acara nonresmi.  Dengan demikian, siswa dituntut menggunakan bahasa lisan ragam nonformal. Begitu juga pada materi bermain peran, siswa diperbolehkan menggunakan bahasa lisan ragam nonformal. Tegasnya ialah penggunaan bahasa Indonesia tidak semata-mata pada ragam formal melainkan juga tidak tertutup kemungkinan penggunaan bahasa Indonesia ragam nonformal yang sering dilupakan karena siswa dalam kenyataan sehari-hari lebih banyak berhadapan dengan ragam nonformal tersebut. Maksud bahasa Indonesia ragam nonformal dalam pembicaraan ini ialah bahasa Indonesia yang tidak terlepas dari kosa kata kedaerahan dan kosa kata “gaul”.
Tabel 4  Ragam Bahasa antara Silabus yang sedang Berjalan
                         dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Siswa (Hasil Analisis Kebutuhan)
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Ragam formal lisan dan tulisan.
Ragam formal dan nonformal baik lisan maupun tulisan.
Ragam formal dan nonformal baik lisan maupun tulisan.

d.    Materi Pembelajaran
Dari studi dokumen terhadap silabus yang sedang berjalan diketahui bahwa materi yang terdapat di dalam silabus sudah cukup beragam yang umumnya menghendaki siswa melakukan kegiatan berbahasa baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, materi disusun dengan orientasi pendekatan komunikatif dengan tujuan akhir siswa terampil berbahasa.
Hasil analisis kebutuhan menunjukkan bahwa guru merasakan materi dari silabus yang sedang berjalan tidak disusun berdasarkan skala prioritas dan gradasi yakni dari level yang terpenting yang harus dikuasai siswa sebagai dasar ke level pengembangan dan dari level yang paling mudah ke level yang lebih sulit. Misalnya pada aspek menulis tidak diberikan materi pengembangan paragraf yang merupakan materi dasar dalam penulisan formal. Menurut guru, silabus yang sedang berjalan menganggap siswa SMP sudah menguasai penulisan paragraf. Padahal anggapan tersebut tidak selamanya benar. Terbukti ketika menulis siswa SMP terutama kelas VII tidak dapat mengembangkan paragraf dengan baik. Oleh sebab itu, materi menulis hendaknya disusun berdasarkan prinsip skala prioritas dan gradasi seperti dkemukakan di atas.
Selain itu, materi-materi hendaknya disusun berdasarkan konsep keakraban siswa dengan materi itu sendiri. Jadi, materi/topik dipelajari dari materi yang dekat dengan siswa atau materi yang dekat dengan pengalaman siswa ke materi yang “kurang dekat” dengan siswa.

Tabel 5 Materi Pembelajaran antara Silabus yang sedang Berjalan
                     dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Orientasi pendekatan komunikatif yang menekankan keterampilan berbahasa.
Disusun berdasarkan prinsip skala prioritas dan gradasi serta keakraban siswa dengan topik.


e.    Pendekatan
Studi dokumen terhadap silabus yang sedang berjalan menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan silabus ialah pendekatan komunikatif dan apresiatif. Di dalam rambu-rambu silabus dinyatakan dengan tegas bahwa fungsi utama bahasa ialah sarana komunikasi. Bahasa digunakan sebagai alat berkomunikasi antarpenutur untuk berbagai keperluan dan situasi pemakaian. Untuk itu orang tidak akan berpikir tentang sistem bahasa tetapi berpikir bagaimana menggunakan bahasa secara tepat sesuai dengan konteks dan situasi. Ditegaskan lagi oleh silabus bahwa pandangan tersebut membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa haruslah lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang sistem bahasa.
Pendekatan apesiatif yang dianut silabus yang sedang berjalan bermuara dari pandangan bahwa karya sastra untuk dibaca, dinikmati, dan dipahami serta dimanfaatkan sehingga pembelajaran sastra ditekankan pada  kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu bentuk seni yang dapat diapresiasi. Oleh karena itu, pembelajaran sastra haruslah bersifat apresiatif. Konsekuensi logisnya ialah pengembangan materi, teknik dan tujuan serta arah pembelajaran sastra haruslah menekankan kegiatan yang bersifat apresiatif.
Kedua pendekatan tersebut dirasakan kurang lengkap oleh guru. Guru menginginkan adanya keterlibatan pendekatan struktural akibat dari dieksplisitkannya aspek kebahasaan pada silabus. Guru merasakan tidak perlu “alergi” terhadap pendekatan struktural karena masih diperlukan dalam upaya menjadikan siswa berbahasa dengan tertib.
Pendekatan pragmatik juga diperlukan karena bahasa dipergunakan dalam situasi dan konteksnya. Dalam situasi yang menuntut siswa berbahasa lisan ragam nonformal siswa diperbolehkan menggunakan struktur bahasa yang tidak “kaku” dan menggunakan kosa kata ragam nonformal.
Tabel 6 Pendekatan antara Silabus yang sedang Berjalan 
                             dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Pendekatan komunikatif dan apresiatif.
Pendekatan struktural, komunikatif, apresiatif, dan pragmatik.

f.     Metode
Hasil analisis terhadap dokumen silabus yang sedang berjalan menunjukkan bahwa silabus lebih menekankan kepada keaktifan siswa daripada guru. Hampir seluruh aktivitas pembelajaran menekankan peranan siswa sebagai titik fokus kegiatan pembelajaran.
            Dari hasil analisis kebutuhan dapat diketahui bahwa peranan guru tetap tidak dapat dikesampingkan. Guru masih diperlukan terutama pada awal proses pembelajaran. Guru tetap diperlukan untuk menjelaskan proses yang harus dilakukan siswa. Pada pertengahan proses dan akhir pembelajaran guru masih diperlukan untuk menjelaskan struktur bahasa yang  digunakan oleh siswa.
Dari analisis kebutuhan diketahui bahwa guru menginginkan agar strategi pembelajaran diuraikan lebih rinci. Jadi tidak dijelaskan secara umum prosedur pembelajaran yang harus dilakukan guru. Guru merasa mereka kekurangan waktu untuk mengembangkan sendiri strategi pembelajaran. Apalagi rata-rata kelas diisi dengan 40 siswa sehingga mereka perlu kiat bagaimana mengatasi kelas yang besar sehingga semua siswa mendapat bagian melakukan seluruh rangkaian kegiatan berbahasa terutama dalam kegiatan berbicara yang sangat menyita waktu sehingga hampir tidak mungkin seluruh siswa mendapat bagian tampil ke depan kelas.   
Tabel 7 Metode antara Silabus yang sedang Berjalan
                                  dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Menekankan keaktifan siswa (student centered).
Berimbang antara keaktifan guru dan siswa serta prosedur pembelajaran dijabarkan lebih rinci sehingga mudah diaplikasikan di kelas.

g.    Sumber Belajar
Analisis terhadap silabus yang sedang berjalan menunjukkan bahwa silabus tiidak menyatakan secara detil sumber belajar yang dapat dirujuk untuk acuan materi pembelajaran. Di dalam silabus yang sedang berjalan sumber belajar disebutkan secara umum misalnya buku teks, teks bacaan, dan  bacaan nonsatra.
Dari analisis kebutuhan diketahui bahwa guru menginginkan sumber belajar disebutkan secara detil misalnya di buku apa dan pada halaman berapa sumber belajar itu dapat diambil sebagai rujukan. Dengan demikian mereka memiliki kepastian sumber belajar yang dapat dijadikan acuan walaupun bukan sebagai sumber belajar satu-satunya. 
Tabel 8 Sumber  Belajar  antara  Silabus  yang  sedang Berjalan
                         dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Tidak secara spesifik menyatakan sumber yang berkaitan dengan materi pokok. Sumber belajar hanya menyebutkan secara umum acuan terhadap materi pokok. Misalnya sumber belajar untuk materi pokok tentang penyampalan cerita dengan alat peraga hanya disebutkan  sumber belajarnya yaitu alat peraga dan buku teks.
Sedapat mungkin sumber belajar disebutkan rujukannya secara jelas dan rinci.

h.    Penilaian
Dari hasil analisis terhadap silabus yang sedang berjalan diketahui bahwa silabus lebih menekankan produk daripada proses. Silabus yang sedang berjalan merupakan silabus yang berorientasi kompetensi (syllabus based competence). Kompetensi-kompetensi itu diharapkan dimiliki oleh siswa setelah mengikuti pembelajaran. Hal itu tercermin dalam standar-standar kompetensi pada aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh sebab itu, penilaian dalam silabus yang sedang berjalan memprioritaskan aspek produk yang tergambar dari bentuk-bentuk instrumen seperti tes unjuk kerja, uji petik kerja, dan produk.
Dari observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan silabus yang sedang berjalan dapat diketahui bahwa penilaian dalam proses pembelajaran jarang dilakukan guru. Guru lebih berfokus pada bagaimana melatih siswa sehingga siswa menguasai kompetensi-kompetensi yang diharapkan dicapai. Dengan demikian, penilaian terhadap proses sering luput dari perhatian guru.  
Dari data analisis kebutuhan terungkap bahwa siswa menginginkan agar mereka terlibat dalam penilaian hasil kerja mereka sendiri. Jadi penilaian  dalam tahap proses pembelajaran dilakukan  dengan melibatkan mereka sehingga mereka tahu titik kelemahan sekaligus kemajuan yang telah mereka capai.   Misalnya dengan rubrik penilaian antarrekan atau dlakukan dengan secara berpasangan (peer editing).

Tabel 9 Penilaian   antara Silabus yang sedang  Berjalan  
                            dan Kebutuhan

Dokumen (Silabus yang sedang Berjalan
Siswa (Hasil Analisis Kebutuhan)
Guru (Hasil Analisis Kebutuhan)
Lebih menekankan produk daripada proses.
Menginginkan keterlibatan dalam proses penilaian hasil kerja.
Berimbang antara produk dan proses.


SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil identifikasi kebutuhan terhadap silabus pembelajaran bahasa Indonesia untuk SMP menunjukkan bahwa guru kurang setuju terhadap silabus yang sedang berjalan. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan pada beberapa hal yaitu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, aspek-aspek pembelajaran bahasa, materi pembelajaran, ragam bahasa, metodologi yang meliputi pendekatan dan metode, sumber belajar, dan penilaian.
Berdasarkan kesimpulan tersebut sudah saatnya disusun dan dikembangkan silabus misalnya melalui MGMP dibantu unsur-unsur terkait seperti LPMP, masyarakat, dan Pemerintah Daerah. Penyusunan silabus  tersebut mempertimbangkan analisis kebutuhan (need assessment) pihak pengguna dan stake holders serta teori-teori terkait yang relevan.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, diajukan saran sebagai berikut.  
Perancang silabus hendaknya memperhatikan faktor kebutuhan di lapangan sehingga silabus yang dirancang dapat tepat sasaran. Sudah waktunya jika silabus disusun dengan mempertimbangkan “apa yang diinginkan pengguna” bukan hanya “apa yang dipikirkan” perancang silabus. 
Silabus yang digunakan oleh para guru SMP di Kota Palembang (silabus yang sedang berjalan) hendaknya ditindaklanjuti sempurnakan. Penyempurnaan dilakukan dengan cara (1)  menambahkan aspek kebahasaan yang menjadi kebutuhan di lapangan; (2) mengatur materi pembelajaran dengan memperhatikan prinsip yang berpusat kepada siswa, orientasi proses, integratif, kontekstualisasi, progresi spiral, dan interaksi; (3) menyusun strategi pembelajaran yang mencerminkan dan memperhatikan prinsip-prinsip learning community, modelling, dan self-assessment.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, James Dean. The Elements of Language Curriculum: A Systematic Approach to Program Development.  Boston: Heinle & Heinle Publishers, 1995.

Cunningsworth, Alan. Choosing Your Coursebook. Oxford: Heinemann Publishers Ltd., 1995.

Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Rosdakarya, 2007.

Munby, John. Communicative Syllabus Design: A Sociolinguistic Model for Defining the Content of Purpose-Specific Language Programmes. Cambridge: Cambridge University Press, 1981.