Wacana Interaksi Kelas: Analisis
Kritis
dari Aspek Dimensi Sosial
Nurhayati·
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dimensi sosial yang
terjadi dalam wacana interaksi kelas di kelas V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi Pulo Gadung Jakarta Timur. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang lebih ditekankan pada etnografis yang
mengandung unsur-unsur sentral yaitu peneliti mendeskripsikan format
keseluruhan data yang diperoleh, lalu menganalisisnya, dan memberikan
interpretasi terhadapnya. Hasil penelitian menunjukkan adanya sejumlah praktik
sosial yang menggambarkan adanya hegemoni guru terhadap siswa. Terdapat pula praktik pemunculan otoritas guru baik
sebagai pengatur disiplin maupun sebagai pemberi materi. Ada pula dominasi guru
di dalam kelas dan juga guru menjadi orang yang serba tahu. Terdapat pula
ketidakkonsistenan guru dalam praktik perilakunya di depan kelas. Di satu sisi
guru menginginkan jawaban yang mendalam ketika siswa menjawab pertanyaan di
sisi lain guru menunjukkan ketidaksabarannya menunggu siswa menjawab. Sementara
itu, terdapat perubahan perilaku pada pertengahan proses pembelajaran. Guru
mengubah fungsinya dalam koridor paradigma konvensional ke paradigma
nonkonvensional.
Kata-kata
kunci: wacana, interaksi kelas, dimensi sosial.
Manusia
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan lainnya. Secara umum penggunaan
bahasa lisan lebih sering dilakukan daripada bahasa tulis dalam komunikasi.
Demikian pula yang terjadi pada interaksi kelas antara guru dan siswanya. Umumnya
guru melaksanakan proses pembelajaran secara lisan.
Salah
satu tipe analisis wacana lisan adalah analisis wacana interaksi kelas.
Analisis wacana interaksi kelas berbeda dengan analisis wacana lisan yang lain
seperti wawancara ataupun penawaran barang di toko (Indrawati, 2003:2). Dalam
analisis wacana interaksi kelas terdapat interaksi misalnya antara guru-siswa
dan guru-siswa-guru (Coulthard, 1977:103). Oleh karena itu, wacana lisan
termasuk wacana interaksi kelas harus
dipahami dan ditafsirkan berdasarkan kondisi dan lingkungan sosial yang
mendasarinya.
Secara
tradisional guru berfungsi sebagai orang yang memberikan pelajaran, orang yang
bercerita, dan orang yang “menyuapkan” materi. Sementara itu, siswa “duduk
manis” di kursi dan menyimak penjelasan guru. Bahkan Barnes (Coulthard,
1977:93) mengamati bahwa partisipasi siswa sangat rendah, dan siswa sangat
sedikit mengajukan pertanyaan. Hal ini dapat saja merupakan imbas dari praktik
perilaku guru dalam proses pembelajaran selama kurun waktu tertentu. Seperti
temuan Barnes di lapangan yaitu ternyata guru jarang memberikan
pertanyaan-pertanyaan terbuka (open
questions) yang meminta siswa memberikan jawaban bernalar. Pertanyaan yang
sering dilakukan adalah pertanyaan yang hanya memancing jawaban singkat.
Akan
tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, fungsi guru seharusnya berubah. Barnes
(Coulthard, 1977:93) menyatakan bahwa siswa harus berani berpartisipasi dan
mengemukakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki sebanyak mungkin. Selayaknya pula pertanyaan
guru lebih mengarah kepada penstimulasian berpikir siswa daripada pemberian
informasi faktual kepada siswa. Guru hendaknya melaksanakan dua aspek interaksi
di dalam kelas yaitu (1) guru memikirkan cara siswa berpartisipasi dan cara
guru itu sendiri dalam memandu sistem pergiliran berbicara serta guru memandu
mengembangkan topik; (2) guru mengajukan pertanyaan yang meminta siswa
memberikan informasi, bernalar, dan bersosial.
Pada
hakikatnya perilaku guru di dalam proses pembelajaran di dalam kelas merupakan
refleksi dari ideologi yang dianutnya. Dengan melihat perilaku guru dalam
bertindak di dalam kelas akan tergambar bagaimana guru memandang posisi siswa.
Apakah guru memandang siswa berdasarkan konsep atasan-bawahan ataukah
berdasarkan konsep bahwa guru sebagai motivator dan fasilitator serta siswa
sebagai patner (mitra). Hal itu merupakan realisasi dari sistem pikiran dan kepercayaan
yang ada pada diri guru itu sendiri.
Kajian
terhadap bahasa lisan dalam interaksi kelas merupakan kajian wacana. Dalam
penelitian ini dilakukan analisis terhadap bahasa lisan dalam interaksi kelas
untuk melihat dimensi sosial yang terdapat dalam praktik pembelajaran di dalam
kelas tersebut. Dengan demikian, yang menjadi masalah penelitian ini ialah
bagaimanakah dimensi sosial yang terjadi dalam wacana interaksi kelas di kelas V
SD Jatinegara Kaum 05 Pagi Pulo Gadung Jakarta Timur. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan dimensi sosial
yang terjadi dalam wacana interaksi kelas di kelas V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi
Pulo Gadung Jakarta Timur.
Analisis
wacana kritis merupakan penerapan analisis wacana dengan perspektif
interdisipliner.
Analisis
wacana kritis berkaitan dengan tinjauan ideologi yang salah satunya berhubungan
dengan akar sejarah Aliran Frankfurt dan Marx yang menjamur pada tahun 1970-an.
Menurut pandangan ini hubungan kekuasaan dalam masyarakat dibarengi oleh bahasa
hegemonis dengan menyatakan realitas di balik ideologi. Misalnya orang mungkin
menyatakan bahwa dalam masyarakat kita ada kesetaraan gender. Penelitian sosial
menyatakan bahwa kaum laki-laki berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan perempuan
dan kaum perempuan secara sistematis
menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerjakan
tugas-tugas domestik dibandingkan laki-laki. Terdapat ketidakkonsistenan antara
bagaimana sesungguhnya segala sesuatu itu dan pemahaman orang terhadap
bagaimana sesuatu itu. Ketidakkonsistenan semacam itu memberikan dasar untuk
dilakukannya peninjauan. Orang tidak melihat realitas dengan tepat karena
ideologi mengganggu pandangan mereka. Ideologi meneruskan hubungan kekuasaan
yang tak setara namun orang-orang tidak bisa memandang kondisi ini karena mereka
menderita kesadaran palsu yakni apa yang mereka lihat adalah ideologi bukan
realitas. Dalam meninjau ideologi yang dominan peran peneliti adalah
mengungkapkan ideologi sebagai distorsi sehingga orang-orang memiliki
kemungkinan bisa melihat apa yang berada di balik ideologi dan mengubah
realitas (Jorgersen dan Phllips, 2007: 327).
Demikianlah
ideologi merupakan topik penting dalam analisis wacana kritis. Hal itu disebabkan
tidak adanya wacana yang benar-benar netral atau “objektif” atau steril dari ideologi
penutur (Purnomo, 2003:71). Yang dimaksudkan dengan ideologi ialah ideology defined as a system of notions and
beliefs that control the behavior of
interlocutors toward reality (Struever, 1985:254). Ideologi adalah sistem
pikiran dan kepercayaan yang mengontrol perilaku para penutur terhadap realitas
yang ada.
Analisis
kritis terhadap wacana terutama sekali mempelajari bagaimana kekuasaan digunakan,
atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan diproduksi melalui
teks dalam sebuah konteks sosial politik (Eriyanto, 2001:ix). Lebih jauh Eriyanto (2001:xiii) menjelaskan
bahwa analisis kritis merupakan analisis yang bertujuan mempelajari bagaimana
kekuasaan disalahgunakan atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan
dan direproduksi melalui teks.
Pada
pandangan analisis wacana kritis bahasa dianalisis bukan hanya semata pada
aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks berarti
bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting yakni bagaimana
bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam
masyarakat.
Kelompok
yang dominan membuat kelompok lain bertindak seperti yang diinginkan olehnya,
berbicara, dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini hanya dapat
dilakukan oleh kelompok yang dominan karena menurut van Dijk mereka lebih
mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, pendidikan dibandingkan dengan kelompok
yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:7—8).
Bentuk
kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks misalnya dapat
dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara sementara itu siapa yang
harus mendengar dan mengiyakan. Mengikuti Guy Cook analisis wacana juga
memeriksa konteks dari komunikasi siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan
mengapa (Eriyanto, 2001:8). Misalnya dalam suatu rapat seorang sekretaris
karena tidak mempunyai kekuasaan tugasnya hanya mendengar dan menulis tidak
berbicara.
Analisis
wacana kritis merupakan pendekatan yang tepat dalam bidang sosial dan perubahan
kultur. Sebuah hubungan antara praktik sosial dan bahasa. Di dalamnya dapat
diteliti hubungan antara proses sosial dan teks-teks bahasa (Fairclough, 1995:
96).
Analisis
wacana Fairclough dapat dijadikan contoh versi tinjauan ideologi yang telah
dimodifikasi. Fairclough (1995::97) membagi analisis wacana dalam tiga dimensi
yaitu text (teks), discourse practice (praktik wacana), dan
sociocultural practice (praktik
sosiokultural). Dengan demikian, Fairclough menggunakan konsep tiga dimensi
wacana dan metode tiga dimensi yang saling berhubungan terhadap analisis
wacana. Praktik wacana menurutnya dapat dilihat secara simultan yaitu bahasa
teks baik lisan maupun tulis, praktik wacana (produksi teks dan interpretasi
teks) dan praktik sosiokultural. Metode analisis wacana meliputi deskripsi
linguistik terhadap bahasa teks, interpretasi terhadap hubungan antara proses
wacana baik yang produktif maupun yang interpretatif dan teks serta penjelasan
hubungan antara proses wacana dan proses sosial. Hubungan antara praktik
sosiokultural dan teks dijembatani oleh praktik wacana. Berikut bagan yang
menggambarkan pendekatan yang dikemukakan oleh Fairclough (1995:98).
Deskripsi (analisis teks)
[APA]
Penginterpretasian (analisis
pemprosesan) [BAGAIMANA]
Penjelasan
(analisis sosial)
[MENGAPA]
DIMENSI WACANA
DIMENSI ANALISIS WACANA
Teks
dapat dianalisis secara linguistik dengan melihat kosa kata, semantik, dan tata
kalimat. Setiap teks dapat dianalisis dari representasi dalam teks yaitu bahasa
yang digunakan misalnya dengan melihat kosa kata yang digunakan untuk
menampilkan atau menggambarkan sesuatu. Selain itu, teks dapat dilihat dari
pilihan gramatikal atau struktur sintaksisnya (Eriyanto, 2001:290).
Analisis
praktik wacana memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks.
Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus yang akan menentukan bagaimana teks
itu diproduksi. Misalnya wacana di kelas. Wacana itu terbentuk lewat suatu
praktik diskursus yang melibatkan bagaimana hubungan antara guru dan murid. Bagaimana
guru dalam pelajaran di kelas dan sebagainya. Pola hubungan yang demokratis di
mana murid dapat mengajukan pendapat secara bebas tentu saja akan menghasilkan
wacana yang berbeda dengan suasana kelas dimana pembicaraan lebih dikuasai oleh
guru, murid tidak lagi boleh berpendapat dan guru sebagai penyampai tunggal
materi pelajaran. Semua praktik itu
adalah praktik diskursus yang membentuk
wacana (Eriyanto, 2001:316-317).
Analisis praktik sosiokultural
didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar mempengaruhi
bagaimana wacana yang muncul. Praktik sosiokultural ini memang tidak
berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks
diproduksi dan dipahami. Misalnya sebuah teks yang merendahkan atau
memarjinalkan perempuan merepresentasikan ideologi patriarkal yang ada dalam
masyarakat. Ideologi yang patriarkal berperan dalam membentuk teks yang
patriarkal pula. Ideologi patriarkal ini tersebar di banyak tempat termasuk di
sekolah. Ideologi patriarkal semacam ini memandang dan menomorduakan wanita itulah
yang terserap dan bagaimana sebuah teks
yang hadir dalam masyarakat tersebut merendahkan wanita. Praktik sosiokultural
menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai
dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat (Eriyanto, 2001:321).
Dimensi
sosial ini lebih mengarah kepada aspek makro seperti sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan
siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat. Dan
bagaimana nilai dan kelompok yang berkuasa itu mempengaruhi dan menentukan media.
Misalnya masyarakat yang sangat kental ideologi otoriter akan menghasilkan teks
yang berbeda dengan yang tidak dipengaruhi ideologi semacam itu (Eriyanto,
2001:325-326).
Dalam
penelitian ini, analisis wacana kritis dilakukan berdasarkan teori Fairclough
yang mengarah kepada analisis dimensi sosial. Dimensi sosial menjelaskan praktik
sosial apa yang tersembunyi di balik wacana guru-murid tersebut (misalnya,
hegemoni, ideologi, kekuasaan, dominasi, perkauman, peminggiran). Praktik
sosial yang telah ditemukan dari data ini diperjelas melalui dimensi tekstual
dan praktik wacana.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif yang lebih ditekankan pada etnografis. Salah
satu aspek penelitian etnografis ialah kajian yang mengandung unsur-unsur
sentral yaitu peneliti mendeskripsikan format keseluruhan data yang diperoleh,
lalu menganalisisnya, dan memberikan interpretasi terhadapnya (Creswell,
1998:35).
Sumber
data penelitian ini ialah tuturan guru dan siswa dalam peristiwa interaksi
kelas pada proses pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD N 05
Pagi Jatinegara Kaum Pulo Gadung Jakarta Timur. Siswa kelas V tersebut
berjumlah 41 orang.
Data dikumpulkan dengan menggunakan
teknik perekaman dan pengamatan. Perekaman dilakukan dengan menggunakan tape recorder. Dengan demikian, data
lisan interaksi kelas direkam selama
proses pembelajaran berlangsung. Selain itu selama proses pembelajaran,
dilakukan pengamatan dengan catatan lapangan untuk membantu pemahaman terhadap
ujaran yang direkam. Pengamatan dilakukan bersamaan dengan perekaman. Perekaman
proses belajar mengajar dilakukan pada tanggal 13 Juni 2007.
Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut. (1) Data lisan ditranskripsikan ke tulisan. Pada proses
pentranskripsian dilakukan pemberian kode. Pemberian kode pada ujaran guru
dengan kode G dan ujaran siswa denga kode S. (2) Penganalisisan secara kritis dari
dimensi sosial untuk melihat arah dominasi antara guru dan siswa. (3)
Penyimpulan hasil analisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Berikut
uraian analisis dimensi sosial terhadap wacana interaksi kelas di kelas V SD N 05 Pagi Jatinegara Kaum Pulo Gadung
Jakarta Timur. Penganalisisan dirangkai dengan memaparkan ujaran-ujaran yang
guru gunakan dan bentuk interaksi yang terjalin serta bentuk-bentuk perbuatan
guru yang mendukung praktik sosial yang terjadi.
Dalam
pandangan tradisional guru adalah orang yang mengajarkan, membagikan,
memberikan, dan menyebarkan pengetahuan kepada siswa. Guru dianggap memiliki
kelebihan daripada siswa. Siswa pun duduk secara pasif ketika guru sedang
berbicara atau menunjukkan “kebolehan”nya. Meja dan kursi disusun berbaris dan
papan tulis diletakkan di depan disusun berdasarkan peranan guru. Gambaran fungsi
dan peran guru serta gambaran situasi kelas secara tradisional tersebut terjadi
dan terdapat di kelas V SD N 05 Pagi Jatinegara Kaum Pulo Gadung Jakarta Timur.
Guru
“konvensional” tersebut menjalankan agendanya sebagai pembuka proses
pembelajaran dan menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran. Dengan demikian,
guru memulai pembelajaran dengan menyampaikan salam yaitu “Selamat pagi Anak-anak.” Siswa sesuai dengan perilaku kelaziman dalam
masyarakat menjawab salam pembuka tersebut dengan “Selamat pagi Bu.” Praktik
seperti ini berlaku dari waktu ke waktu dan telah menjadi rutinitas dari
kegiatan kelas.
Selanjutnya
dengan otoritasnya sebagai pengontrol kelas guru meminta siswanya untuk
menyisihkan benda-benda yang sekiranya dapat mengganggu kelancaran proses
pembelajaran. Hal ini ditunjukkan guru dengan tuturan “Coba botol aqua itu
dimasukkan ke dalam kolong meja.” Siswa
yang merasa memiliki botol aqua yang berada di atas meja dengan cepat
membereskan meja dan meletakkan botol aqua di dalam meja. Guru mengiyakan
tindakan siswa dan melakukan persetujuan dengan menuturkan kata “Ya,” dan memberikan
opini bahwa perlakuan siswa dengan meletakkan botol aqua ke tempat yang
semestinya dalam rangka tidak mengganggu
pelajaran pada hari itu.
Selanjutnya
guru sebagai institusi yang
berwewenang dalam memberikan materi pembelajaran mulai memperkenalkan topik (introducing a topic). Guru melakukannya dengan strategi linguistik
yang dapat membantunya memulai pelajaran. Guru menyebutkan “Hari ini kita akan
belajar bahasa ....” Ujaran tersebut
tidak dilengkapi oleh guru karena guru percaya bahwa siswa akan melengkapi kata
akhir dari rangkaian klausa yang diucapkannya itu. Adalah tugas siswa untuk
melengkapinya sehingga dalam pertemuan itu secara serentak siswa menyebut
“Indonesia.” Guru dengan demikian mempersiapkan siswa untuk melakukan tindakan
selanjutnya yang dikehendaki oleh guru. Hal ini merupakan aplikasi dari
pemertahanan tatanan fungsi dan peran guru menurut konsep konvensional.
Dari
pola giliran yang terdapat di dalam interaksi kelas ini terlihat adanya dominasi guru di dalam di
kelas. Pola pergiliran yang terdapat dalam
pembelajaran tersebut ialah G-S-G-S-G-S-G-S-G-S-G-S-G-S-G-S. Dapat dilihat
adanya pergiliran yang dua arah yaitu dari guru (G) ke siswa (S), guru ke siswa
demikian seterusnya. Hal ini menandakan pemicu utama pembelajaran adalah guru
baik sebagai pembuka pembelajaran, pembuka pertanyaan, maupun sebagai inisiator
utama proses pembelajaran secara keseluruhan. Guru mengucapkan “Minggu lalu
kitakan sudah mempelajari membaca ya.” Sementara itu, siswa sebagai pengikut
yang berada di belakang guru mengikuti kemauan dan arah petunjuk guru. Siswa
cukup mengucapkan “Ya.”
Guru
selain mendominasi kelas dan menjadi penguasa kelas ia menjadi orang yang serba tahu. Hal ini terbukti dari perilakunya
dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa “Mengapa Tulap menyantap laki-laki
tua?” Guru tidak sabar menunggu dalam
hitungan beberapa detik lalu ia mengajukan pertanyaan kembali “Bagaimana?”
Tidak ada jawaban dari siswa akhirnya guru menjawab “Karena lelaki tua
diajaknya berburu.” Dengan demikian, selesai sudah guru menunjukkan
kemampuannya dalam mengajukan pertanyaan sekaligus menjawab pertanyaannya itu
sendiri.
Salah satu fungsi guru ialah sebagai
penilai. Untuk menjalankan fungsi penilaian tersebut, guru harus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada siswanya. Pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya pertanyaan-pertanyaan
yang dapat menstimulasi siswa untuk berpikir. Kenyataannya yang terjadi di
dalam proses pembelajaran di kelas V tersebut ialah pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan guru hanya sekedar pertanyaan pada tingkat kognitif yang menginginkan
siswa mereproduksi ingatannya. Guru mengajukan pertanyaan yang meminta siswa
memberikan informasi sederhana misalnya “Nah sekarang bu guru tanya jawab
dengan kalian. Dari cerita ini ya. Coba. Toni. Siapakah tokoh pelaku dalam
cerita Tulap dan Lelaki Tua? Siapa?”
Dengan pertanyaan tersebut siswa menjawab “Tulap” Lalu guru bertanya
lagi “Tulap. Siapa? Coba Hidayat. Tulap itu bagaimana sosok, sosok Tulap itu?”
Dijawab siswa “Kasar” Guru mengulang jawaban siswa untuk memastikan jawaban itu
dan mengajukan pertanyaan baru “Kasar.” Kemudian apa ciri si Tulap ini?”
Dijawab oleh siswa “Memakan manusia.” Guru mengajak kelas untuk mengulang
jawaban dengan menyebut “Memakan…” dan secara serempak siswa menyebut “Manusia.”
Pertanyaan
memang dapat digunakan untuk memulai percakapan dan dapat digunakan
berkali-kali. Peran penting pertanyaan adalah untuk memunculkan jawaban dan
sekaligus menjaga agar percakapan berlangsung. Oleh sebab itu guru memunculkan
lagi pertanyaan baru tentang fakta yang berkaitan dengan cerita “si Tulap dan
Lelaki Tua.” Pertanyaan yang muncul “Ya, Kemudian Maria di manakah latar
terjadinya peristiwa?” Di mana? Di ….” Siswa menjawab “Di hutan (serempak guru).”
Seperti yang terjadi sebelumnya guru mengulang kembali jawaban siswa “Ya di
hutan.”
Kalaupun
ada pertanyaan yang meminta siswa berpikir secara mendalam misalnya pertanyaan mengapa dan bagaimana maka jawabannya akan sama dengan kasus pertanyaan yang
memunculkan kata apa (what), siapa (who), di mana (where), dan kapan (when).
Jadi siswa kurang diberi stimulasi untuk mengeksplorasi kemampuannya dalam hal
bernalar. Hal ini ditemukan pada pertanyaan “Kemudian mengapa, mengapa lelaki
tua dengan teman-temannya ingin membunuh
si Tulap? Coba Ian Kenedi.” Dengan kata tanya mengapa siswa sebenarnya sudah diajak untuk mengemukakan
alasan namun guru tampaknya tidak sabar
menunggu dan cepat menyela jawaban siswa yaitu “Karena Tulap suka memakan
manusia ... (disela guru dan serempak dengan guru siswa mengucapkan) “Yang
tidak bersalah.“ Siswa merasa belum lengkap jawabannya dan menyambungi
jawabannya “Kepada ... “ guru langsung menyela “Kepada?” dan siswa menjawab “Si
Tulap.” Guru kemudian mengulang kembali
jawaban siswa agar kelas mendengar secara utuh jawaban siswa tersebut dan
meminta siswa secara serempak mengikuti jawaban dengan cara menaikkan intonasi
ujarannya pada ujung ujaran sehingga secara otomatis siswa mengikuti ujung
ujaran guru. “Lelaki Tua ingin membunuh Tulap karena … ia, si Tulap itu suka
memakan ....” Siswa membalas “Manusia ....” (Serempak seluruh siswa).
Bukti
lain guru sering menunjukkan ketidakkonsitenannya dan ketidaksabarannya dalam
menunggu siswa menjawab pertanyaannya ialah pada ujaran berikut. Pertanyaan
berikut ini pada dasarnya menginginkan jawaban yang mendalam. Berikut
petikannya. “Coba Maulida. Bagaimana
menurut kamu sikap si Tulap ini.” Siswa
menjawab “Jahat.” Guru merasa jawaban siswa dengan menyebut jahat belum cukup
karena tidak disertai alasan yang mendukung sehingga guru memintanya dengan
mengajukan pertanyaan berikut “Jahat. Karena makan . . .?” Perhatikan bahwa
pada satu sisi guru mengharapkan jawaban siswa memberikan jawaban disertai
alasannya namun pada sisi lain guru langsung memberikan rambu (clue) jawaban kepada siswa dengan
menambahkan kata makan setelah kata karena “karena makan ....” Dengan
demikian, siswa langsung dapat menebak isi jawaban yang dikehendaki guru dan menjawab
langsung “Manusia.”
Unjuk
kekuasaan guru dalam pengelolaan kelas ditunjukkan dengan pemilihan kata yang
mencitrakan bahwa guru memiliki otoritas tunggal dan penuh terhadap
siswa-siswanya. Guru cukup menggunakan ujaran berikut. “Dimas perhatikan. Nanti
Bu Guru tanya jawab sama kamu. Ndak bisa jawab, awas. Yang lain dengarkan. Feri
jangan ngobrol.”
Perilaku
yang ditunjukkan guru ini menunjukkan adanya jurang pemisah antara guru dan
siswanya. Guru tidak menganggap dirinya sebagai teman, konselor, dan atau
motivator siswa namun guru menunjukkan jati dirinya sebagai atasan dan siswa
sebagai bawahan yang harus patuh terhadap perintah atasannya demi sekali lagi
terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pelaksanaan pembelajaran. Akan
terdapat banyak Dimas dan Feri lainnya di ruang-ruang kelas yang mengalami
perlakuan guru seperti itu. Praktik peminggiran terhadap siswa yang dianggap
guru “mengganggu kelas” ini mencerminkan ideologi yang dianut guru bahwa siswa
merupakan “bawahan” dan “anak” sedangkan guru sebagai atasan dan “orang tua.”
Sebagai bawahan dan anak siswa tidak boleh keluar dari rel yang telah ditentukan. Atasan memiliki kekuasaan yang
tidak dimiliki oleh bawahan. Begitu juga anak tidak memiliki kekuatan seperti
yang dimiliki oleh orang tua. Hal ini
merupakan akar bagi tidak terciptanya iklim demokratis di dalam kelas.
Praktik-praktik pengebirian suara siswa di dalam kelas akan membelenggu siswa
dalam bertutur kata. Bisa jadi akan membelenggu siswa dalam berkreativitas.
Inilah mungkin salah satu sisi mengapa sekolah di Indonesia tidak dapat membawa
anak-anak didiknya menjadi orang kreatif dan kritis. Upaya pendidikan memerlukan
proses yang panjang dan sabar dan tidak akan bermakna akibat kejadian-kejadian
yang tampaknya sepele namun bisa jadi akan berdampak besar.
Pada sisi lain, perilaku guru yang
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki
siswa merupakan pengejawantahan perubahan paradigma fungsi guru dalam
masyarakat. Di tengah perjalanan pembelajaran tampaknya guru mengubah struktur
interaksi yang telah dilakukannya. Guru memikirkan
cara agar siswa berpartisipasi dengan
memandu sistem pergiliran berbicara. Guru kelas V tersebut memberikan
kesempatan kepada siswanya untuk membuat pertanyaan dengan menggunakan
serangkaian kata tanya yaitu 5 W 1 H. Dengan membuat pertanyaan dan jawaban
terhadap pertanyaan yang dibuat oleh siswa itu sendiri guru melakukan
pemberdayaan terhadap siswa. Jadi setiap siswa diminta membuat pertanyaan
dan jawabannya dan siswa diminta maju berpasangan ke depan kelas. Tugas siswa
pertama menanyakan siswa kedua dan siswa kedua harus dapat menjawab pertanyaan
yang diajukan siswa pertama. Siswa pertama sekaligus sebagai penilai siswa
kedua (peer editing). Guru berlaku
hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam hal ini. Pada aktivitas tersebut
guru tidak lagi sebagai penyampai tunggal materi pembelajaran. Peran guru
sebagai otoritas tunggal pengembang materi diganti oleh siswanya.
Aktivitas
pembelajaran yang tidak “dikuasai” oleh guru itu dapat dilihat dari pola
giliran yang ada. Terdapat pola giliran yang lebih banyak memunculkan aktivitas
siswa daripada guru. Hal ini dapat dilihat dari pola G-S-S-S yang terdapat pada
tabel berikut.
Tabel Pola Giliran
G-S-G-S-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G
Pola Giliran
G-S-G-S-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G-S-S-S-G-S-G-S-S-G-S-G
|
G: Siapa yang
sudah?
Coba Sita dengan Junia, maju. Ayo.
Junia sudah selesai katanya. Ayo.
Coba lainnya dengarkan.
Dengarkan teman.
Junia baca pertanyaan Junia.
|
S: Bu, Junia dulu.
|
G: Yang lain
dengarkan.
Feri jangan ngobrol.
|
S-S: Siswa
melakukan tanya jawab
berdasarkan pertanyaan yang telah
dibuatnya.
|
G: Betul?
|
S: Betul.
|
S-S: Melanjutkan
tanya jawab.
|
G: Ya, tepuk
tangan untuk temannya.
Ya Yuda dengan Deri.
Siapa dulu yang mulai?
|
S:
Yuda
|
G:
Yang lain diam!
|
S-S: Siswa
melakukan tanya jawab.
|
G: Betul?
|
S: Betul.
|
G:
Ya
|
S-S: Melanjutkan
tanya jawab.
|
G: Bagaimana
pertanyaannya?
Maka Si Tulap kaget.
Betul?
Apa jawabnya?
|
S: (Siswa
menjawab)
|
G: Betul
kawan-kawan?
Tadi jawabnya karena Tulap suka
memangsa manusia.
Pertanyaannya apa?
Mengapa Tulap menyantap laki-laki
tua?
Bagaimana?
Karena lelaki tua diajaknya berburu.
Sudah selesai pertanyaannya?
|
S:
Belum.
|
S-S:
Melanjutkan tanya jawab
|
G:
Betul?
|
S:
Betul
|
G:
Betul.
|
S-S:
(Melanjutkan tanya jawab).
|
G:
Sudah?
|
S:
Sudah.
|
G:
Ya. Berikan tepuk tangan.
|
Pemberdayaan siswa sangat
diperlukan dalam proses pembelajaran. Hal ini mulai dirasakan oleh guru kelas
tersebut setelah proses pembelajaran berlangsung setengah jalan. Selain pola pergiliran
yang dikemukakan di atas guru mulai mengubah strategi yang diterapkannya. Hal
itu dapat dilihat dari tuturan berikut “Ada? Ya dicoba, salah tidak apa-apa. Coba Rio.”
Guru berperilaku lebih terbuka dan memandang siswanya secara lebih demokratis.
Di samping itu guru memandu
mengembangkan topik tentang “Si Tulap dan Orang Tua” dengan memberi kesempatan
kepada siswa seperti berikut. “Tadi Hidayat tadi sudah betul. Tadi Hidayat
disebutkan juga, penjelasannya disebutkan. Coba idenya saja. Gagasannya saja.
Coba Junia.” Dengan perlakuan yang demikian, guru melepaskan sebagian
otoritasnya selaku pengembang materi. Siswa diberinya kepercayaan untuk itu. Pemberdayaan
memang akan lebih bermakna jika guru semakin banyak memberi kesempatan kepada
siswa.
Dari
data tuturan guru tersebut terdapat empati guru terhadap aktivitas yang
dilakukan siswa dengan memunculkan backchannelling
seperti ya, bagus, benar, dan
sebagainya. Hal ini pertanda bahwa guru menunjukkan perhatiannya terhadap pekerjaan yang dilakukan siswa. Namun pada
sisi lain, tampaknya terdapat perilaku ganda dalam diri guru. Hal ini dapat
dilihat dari tidak adanya reaksi apa pun baik verbal maupun nonverbal ketika
siswa beraktivitas. Misalnya ketika siswa membaca paragraf demi paragraf cerita
“Si Tulap dan Orang Tua” secara bergantian.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari
analisis terhadap wacana interaksi kelas di kelas V SD Jatinegara Kaum 05 Pagi Pulo Gadung Jakarta Timur diketahui hal-hal
sebagai berikut. Ditemukan sejumlah praktik sosial yang menggambarkan adanya
hegemoni guru terhadap siswa. Terdapat pula praktik pemunculan otoritas guru baik
sebagai pengatur disiplin maupun sebagai pemberi materi. Ada pula dominasi guru
di dalam kelas dan juga guru menjadi orang yang serba tahu.
Selain
itu, terdapat pula ketidakkonsistenan guru dalam praktik perilakunya di depan
kelas. Di satu sisi guru menginginkan
jawaban yang mendalam ketika siswa menjawab pertanyaan di sisi lain guru
menunjukkan ketidaksabarannya menunggu siswa menjawab.
Pada sisi lain, terdapat perubahan
perilaku pada pertengahan proses pembelajaran. Guru mengubah fungsinya dalam
koridor paradigma konvensional ke paradigma nonkonvensional. Guru mengubah
struktur interaksi di dalam kelas. Guru mulai memberdayakan siswanya. Dengan
demikian, guru lebih banyak berlaku sebagai fasilitator dan motivator.
Praktik-praktik
sosial yang dilakukan guru di dalam kelas seperti yang tergambarkan di dalam
penelitian ini dapat dipastikan bukan muncul begitu saja melainkan merupakan
konstelasi dari permasalahan pendidikan di Indonesia yang “centang perenang”
dari waktu ke waktu yang melibatkan banyak faktor seperti kualitas guru, kelas
yang besar, perhatian pemerintah terhadap pendidikan yang minim, dan idiologi
yang dipengaruhi sosiokultural.
Saran
Penelitian ini dilakukan pada tingkat sekolah dasar sehingga ditemukan
praktik-praktik hegemoni, otoritas tinggi, peminggiran, dan dominasi guru. Oleh
sebab itu perlu dilakukan penelitian di sekolah yang lebih tinggi tingkatnya
untuk melihat apakah praktik-praktik hegemoni, otoritas, peminggiran, dan
dominasi guru masih terjadi pada tingkat yang lebih tinggi. Mungkin guru
menganggap siswa sekolah dasar belum dapat mandiri, belum memiliki wawasan yang
luas sehingga perlu “dibebani” oleh sejumlah aturan yang justru dapat memasung
aktivitas dan kreativitas siswa.
DAFTAR ACUAN
Coulthard, M. 1977. An
Introduction to Discourse Analysis. Harlow: Longman Group Limited.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Traditions. Thousand Oaks: Sage Publications.
Eriyanto. 2001. Analisis
Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Fairclough, N. 1995. Critical
Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Indrawati, Sri. 2003. Pola Pertukaran dalam Wacana
Interaksi Kelas. Lingua: Jurnal Bahasa
dan Sastra. Vol.5, No. 1 Desember 2003.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana. Teori & Metode. (Terjemahan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
McCarthy, M. 1991. Discourse
Analysis for Language Teachers. Cambridge: Cambidge Uniersity Press.
Purnomo, Mulyadi Eko. 2003. Analisis Wacana Kritis dan
Penerapannya. Lingua: Jurnal Bahasa dan
Sastra. Vol.5, No. 1 Desember 2003.
Stenstrom, Anna-Brita. 1994. An Introduction to Spoken Interaction. London: Longman.
Struever, N. S. 1985. Historical Discourse. Handbook of Discourse Analysis. Dalam
Teun A. Van Dijk (Ed.) London: Academic Press. Vol. 1.
Writing Lesson Plans .
Teachers’ Roles http://www.huntington.edu/education/lessonplanning/roles.html
Diakses pada tanggal 13 Juni 2007.