Penerapan Strategi Formeaning Response dalam Pembelajaran Puisi:
Sebuah Upaya Meningkatkan Kemampuan
Siswa dalam Berbahasa dan Bersastra[1]
Nurhayati[2]
Abstrak: Pembelajaran sastra pada hakikatnya bukan hanya
dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra melainkan pula dapat meningkatkan
kemampuan berbahasa siswa. Hanya saja dalam kenyataannya pembelajaran
sastra belum menyentuh tujuan tersebut
secara proporsional apalagi dapat mengantarkan siswa ke pencapaian tujuan dalam
sekali langkah pembelajaran. Kata pepatah yang menyatakan sekali mendayung dua
tiga pulau terlampaui akan tercapai apabila guru menggunakan strategi yang
diberi nama formeaning response.
Dengan strategi formeaning response,
siswa diminta untuk
menggauli puisi yang dibacanya lewat setidak-tidaknya
dua arah utama yaitu dengan mendiskusikan bahasa yang digunakan
penyair dalam larik-larik puisi dan bagaimana tanggapan personal
siswa terhadap puisi yang dibacanya sesuai dengan horison
harapannya.
Kata-kata kunci: Pembelajaran puisi,
stilistik, respon pembaca, dan formeaning
response
Pendahuluan
Telah
lama diupayakan agar pembelajaran sastra mendapat porsi yang seimbang dalam
pembelajaran bahasa. Pembelajaran sastra dianggap tidak mendapat “tempat” dalam
pembelajaran bahasa. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya
ialah minimnya pengetahuan guru tentang strategi pembelajaran sastra. Sementara
itu, tidak diragukan lagi bahwa pembelajaran
sastra dapat memberi kontribusi dalam peningkatan kompetensi berbahasa siswa.
Dengan adanya asumsi demikian, guru seyogyanya perlu menyediakan input bahasa
dan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sarana dalam proses pembelajaran sastra
yang dapat berimbas kepada peningkatan kemampuan berbahasa siswa. Salah satunya
ialah guru dapat menggunakan aktivitas pembelajaran puisi sebagai dasar
kegiatan pembelajaran bahasa sekaligus sebagai upaya dalam meningkatkan
apresiasi siswa dalam bersastra.
Berbagai
penelitian telah dilakukan terhadap kegiatan pembelajaran puisi yang dapat meningkatkan
keterampilan
berbahasa siswa antara lain dilakukan oleh Nurhayati (1998), Maley dan Duff (1989), dan Hanauer (2001). Begitu
pun Alwasilah (dikutip Rudy, 2004:2) menyatakan bahwa
sastra mampu mengembangkan kompetensi
berbahasa siswa karena karya sastra kaya akan kosakata dan ragam kalimat.
Tulisan
ini memaparkan alternatif strategi dalam pembelajaran sastra khususnya puisi
yaitu strategi stilistik yang dikombinasikan dengan strategi respon pembaca.
Alasan pemilihan strategi ini ialah sebagai berikut. Stilistik merupakan strategi yang menganalisis dan
memahami karya satra dari bentuk-bentuk bahasa (language forms) sedangkan respon pembaca merupakan strategi yang
berkaitan dengan pemahaman pembaca secara personal terhadap teks sastra. Kedua strategi tersebut nantinya dalam pembelajaran
sastra saling berkaitan dan saling mengisi dalam rangka
memahami karya sastra yang dibaca (puisi) sekaligus dapat meningkatkan
kemampuan berbahasa. Oleh Kellem (2009) kedua strategi tersebut dinamakan strategi
formeaning
response. Strategi formeaning
response ini menurut Kellem merupakan strategi yang bekerja dengan cara
mempelajari unsur-unsur bahasa puisi dan merespon puisi secara personal.
Pembelajaran
Puisi dengan Strategi Stilistik
Short dan Christoper Candlin (dikutip
Nurhayati, 2008:8) menyatakan “Stylistics is a linguistics approach to the
study of literary texts.” (Stilistika adalah pendekatan linguistik yang
digunakan dalam studi teks-teks sastra).
Senada dengan pengertian tersebut Turner (1975:7) menyatakan bahwa stilistika merupakan bagian linguistik
yang menitikberatkan kajiannya kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala
memberikan perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra.
Cummings
dan Simmons (1986:vii) menyatakan bahwa kajian stilistik melihat bagaimana
unsur-unsur bahasa digunakan untuk melahirkan pesan dalam karya sastra, atau
dengan kata lain stilistika berhubungan dengan pola-pola bahasa dan bagaimana
bahasa digunakan dalam teks sastra yang dikaji. Dengan menganalisis bahasa yang
dipolakan secara khas, seseorang dapat menunjukkan kekompleksan dan kedalaman
bahasa teks sastra dan juga menjawab bagaimana bahasa tersebut memiliki
kekuatan yang menakjubkan termasuk kekuatan kreativitas karya sastra. Lebih
jauh, Cumming dan Simmons menyatakan
bahwa dengan menganalisis teks sastra sebagai artefak
verbal, seseorang dapat menonjolkan status artefak verbal tersebut sebagai
karya sastra.
Sejalan
dengan itu, Short (dikutip Kellem,
2009:12) menyatakan stilistik ialah aplikasi langsung dari bukti-bukti
linguistik untuk menganalisis dan menginterpretasi karya sastra dan alat analisis
yang menggunakan penjelasan aspek-aspek formal puisi untuk mendiskusikan makna
puisi itu sendiri. Contohnya mengutarakan repetisi leksikal
dalam pusi yang dapat digunakan untuk memperkuat kesan
dari sebuah kata.
Leech
dan Short (1981), Widdowson (1982), Carter dan Long (1991) yang dikutip
Nurhayati (2008) telah memberikan petunjuk bagi strategi stilistik terhadap pembelajaran
sastra di mana siswa diminta untuk menggunakan pengetahuan struktur bahasanya
dalam menganalisis karya sastra serta menghubungkan observasi-observasi mereka untuk
mencapai efek-efek pembelajaran sastra. Interpretasi
terhadap karya sastra yang dibaca siswa berdasarkan bukti yang spesifik dari
hasil pergaulan dengan teks yang dibaca siswa.
Rosenkjar
(dikutip Kellem, 2009:13) memberikan contoh kegiatan yang berkaitan dengan
puisi sebagai berikut.
-
Menggarisbawahi
kalimat-kalimat lengkap dengan menggunakan spidol warna-warni;
- Mengelompokkan kata-kata yang terdapat dalam puisi berdasarkan kelas kata;
- Menandai kata-kata ganti yang terdapat dalam puisi;
- Menggarisbawahi kata-kata kerja yang terdapat dalam puisi.
Kegiatan-kegiatan yang disarankan oleh Rosenkjar tersebut pernah dilakukan oleh Nurhayati dalam penelitiannya
pada tahun 1998 dengan meminta siswa menandai kalimat aktif dan pasif,
menentukan kategori kata, dan menambahkan kata-kata pada larik-larik puisi yang
dibaca sehingga mudah dibaca sekaligus dimaknai. Di samping itu, dilakukan pula kegiatan memaknai metafora dan mengulas citraan yang terdapat dalam
pusi yang dibaca. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan menentukan tema
dan amanat yang terdapat di dalam puisi.
Pembelajaran Puisi
dengan Strategi Respon Pembaca
Kata “respon” memposisikan pembaca sebagai penerima teks
dan terbuka kemungkinan yang subjektif, objektif, dan emosional. Dengan
demikian, respon terhadap bacaan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menghubungkan bacaan tersebut dengan pengalaman pribadi.
Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada siswa saat mereka merespon sebuah
bacaan adalah pengembangan emosional dan intelektual secara mendasar (Probst,
1988:45).
Strategi respon pembaca mengedepankan kenyataan bahwa seorang pembaca
memiliki peran besar dalam menetapkan makna sebuah bacaan. Dengan kata lain,
apa yang terkandung dalam sebuah bacaan mungkin saja tidak terdapat di dalam
bacaan itu sendiri, melainkan di dalam konstruksi (construct) pembacanya (Putubuku,
2009).
Dari berbagai literatur yang berkaitan dengan respon pembaca dapat diketahui bahwa sebuah
teks bukanlah satu-satunya sumber makna (seperti yang
dianut oleh aliran struktural). Seorang pembaca
menggunakan akal-budi dan pengalamannya ketika membaca sebuah teks. Oleh Jausz, proses membaca karya sastra berkaitan erat dengan horison
harapan (horizon of expectation) dari
masing-masing pembaca. Horison harapan ini mempengaruhi dan mengarahkan kesan,
tanggapan, dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya
(Atmazaki, 2007:119).
Pembaca, sebagai pengungkap makna karya sastra, adalah faktor yang variabel.
Variabel-variabel itu antara lain ialah usia, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, dan sosial budaya pembaca itu sendiri. Oleh karena itu, satu karya
sastra bisa jadi memperoleh makna yang bermacam-macam.
Terbukanya berbagai penafsiran terhadap karya sastra dikemukakan pula Agustina (2003) yang menyatakan bahwa adanya hubungan erat
antara pembaca dan teks sastra yang memungkinkan munculnya berbagai makna. Pradopo (dikutip Sanidu, 2007:21) menyatakan bahwa berbagai penafsiran
tersebut wajar terjadi karena karya sastra memiliki wilayah ketidakpastian.
Wilayah ketidakpastian itu merupakan bagian-bagian kosong yang mengharuskan
pembaca untuk mengisinya.
Beberapa
peneliti juga menekankan pada kemungkinan seorang pembaca “menemukan”
maknanya sendiri, yang barangkali berbeda dari yang ditemukan orang lain, atau
dari yang tertera di atas kertas. Pada intinya, teori reader-response atau teori
reception (karena
berkonsentrasi pada pembaca sebagai “penerima” teks) mengangap bahwa teks
tertulis harus dilihat secara dinamis, dan belum “jadi”. Setelah ada
pembacanya, barulah teks itu membentuk makna. (Putubuku, 2009).
Berkaitan dengan tanggapan pembaca, menurut Junus (1985:1) tanggapan yang
diberikan pembaca dapat bersifat pasif yakni bagaimana seorang pembaca memahami
karya sastra atau melihat estetika yang terdapat di dalam karya sastra.
Tanggapan tersebut dapat bersifat aktif yakni bagaimana pembaca merealisasikannya.
Kedua konsep ini berkaitan dengan strategi yang dikemukakan di dalam makalah.
Sejalan dengan itu, Rosenblatt
(dikutip
Probst, 1988:7—8) menyatakan “All the student’s
knowledge about literary history, about authors and periods and literary types,
will be so much useless baggage if he
has not been led primarily to seek in
literature a vital personal experience.” Rosenblatt
menyarankan adanya pengalaman personal siswa ketika bergaul dengan karya sastra
dan memberikan kesempatan kepada siswa menggunakan
semua pengetahuan teoretisnya tentang sastra dalam pengalaman personal
tersebut. Dengan demikian, akan terbuka
berbagai penafsiran terhadap karya sastra tergantung kepada pengetahuan yang
dimiliki siswa.
Lebih jauh Rosenblatt
(Kellem, 2009:14) menyatakan bahwa penafsiran diperoleh siswa dihasilkan lewat
sebuah transaksi antara pembaca (siswa). Ia menempatkan transaksi membaca
tersebut ke dalam sebuah skala dari skala yang disebut efferent stance (mendapatkan informasi) kepada aesthetic stance yakni membaca bagi mendapatkan pengalaman atau
mendapatkan hiburan.
Sejumlah
penelitian telah membuktikan adanya keunggulan strategi respon pembaca dalam
pemerolehan bahasa kedua misalnya oleh Ali (dikutip Kellem, 2009:13)
yang melakukan penelitian terhadap pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua bagi mahasiswa teknik di universitas Malaysia. Ali menemukan bahwa
manakala mahasiswa terlibat dalam pengalaman membaca cerita pendek mahasiswa
dapat meningkatkan pengalaman membacanya. Penelitian
yang telah dilakukan oleh Rudy (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berbahasa khususnya menulis pada siswa SD
dengan menggunakan model respons pembaca.
Penerapan Strategi Formeaning
Response dalam Pembelajaran
Puisi
Strategi formeaning response merupakan kombinasi dari
dua strategi yakni strategi stilistik dan respon pembaca. Kata formeaning berasal dari kata form dan meaning yang mengacu kepada strategi stilistik yakni strategi yang
berpusat kepada bahasa yang terdapat dalam karya sastra (puisi). Form (bentuk) dan meaning (makna) tidak dapat dipisahkan dalam analisis stilistik
terhadap sebuah puisi karena untuk mendeskripsikan dan memahami
bentuk bahasa seperti butir-butir leksikal dan/atau
struktur gramatikal yang ada dalam puisi pembaca harus
memperhatikan bentuk dalam konteksnya yang bermakna. Diskusi makna puisi harus
berasal dari diskusi terhadap bentuk-bentuk linguistik puisi itu sendiri. Oleh sebab itu, bentuk dan makna merupakan dua aspek yang tidak dapat
dipisahkan dalam menganalisis dan memahami puisi.
Kata response mengacu kepada strategi
respon pembaca yang mengasumsikan
bahwa ketika siswa secara personal bergaul dengan karya sastra mereka
menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing. Ketika mereka
menghubungkan dengan pengalamannya itu mereka sering kurang fokus terhadap bentuk-bentuk linguistik yang
ada. Hal itu disebabkan mereka mengkonstruksi keseluruhan makna melalui proses transaksional dengan
pengetahuan, pengalaman, dan ide-ide yang mereka miliki secara personal (Kellem, 2009:14--15).
Lebih jauh Kellem (2009:15) menyatakan bahwa kombinasi antara kedua strategi
itu menjadikan pembelajaran puisi lebih menyenangkan. Strategi ini
merupakan jembatan bagi strategi yang menekankan bentuk-bentuk linguistik
(stilistik) dan estetik dalam kegiatan membaca dan memahami pusi. Dengan
demikian, pembelajaran puisi dapat menyenangkan karena siswa dapat memahami
puisi berdasarkan penafsiran personalnya dan berupaya memahami puisi
melalui bukti-bukti bahasa yang dapat digali dari puisi
yang dibacanya.
Penelitian ini
menggunakan strategi formeaning
response dengan alasan pemilihan sebagai
berikut. Stilistik merupakan strategi
yang menganalisis dan memahami karya sastra dari
bentuk-bentuk bahasa (language forms)
sedangkan respon pembaca merupakan strategi yang berkaitan dengan pemahaman
pembaca secara personal terhadap teks sastra.
Kedua strategi tersebut nantinya dalam pembelajaran sastra saling
berkaitan dan mengisi dalam rangka memahami karya sastra yang dibaca (puisi)
sekaligus dapat meningkatkan kemampuan berbahasa.
Prosedur Pelaksanaan Strategi Formeaning Response
Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pada pelaksanaan strategi formeaning response ialah sebagai berikut.
(1) Kegiatan warm-up yaitu kegiatan brainstorming dengan mengekspresikan
opini siswa terhadap tema puisi yang akan dibaca. Guru dapat meminta siswa
menceritakan pengalaman pribadinya yang berkaitan dengan tema puisi. Siswa
diminta mengaktifkan background knowledge
yang akan membantunya dalam menganalisis dan memahami puisi yang dibacanya.
(2) Kegiatan yang memfokuskan bentuk dan makna puisi yang berkaitan dengan
unsur-unsur puisi. Kegiatan ini berupa latihan memberikan beberapa alternatif
kata-kata yang sesuai atau tepat terhadap kata-kata “khas” atau kata-kata “unik”
yang digunakan penyair. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melihat kata-kata “khas” dalam konteks keseluruhan puisi. Selain itu, kegiatan
ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan bagaimana butir-butir
kosa kata bekerja dalam sebuah puisi.(3) Kegiatan menyimak kata-kata yang
dirumpangkan. Guru melisankan puisi yang telah dirumpangkan kata-kata tertentu.
Siswa diminta untuk mengisi kata-kata rumpang tersebut. Kegiatan ini
memungkinkan siswa fokus kepada kata-kata “khas” yang digunakan penyair. (4)
Kegiatan mendaftar kata-kata kerja atau kata sambung dan/atau objek-objek
kongkret dalam puisi. Siswa kemudian diminta untuk mengelompokkan kata-kata itu
berdasarkan kategori katanya. (5) Kegiatan berdiskusi. Siswa berdiskusi di
dalam kelompok kecil (2 atau 3 orang). Siswa mendiskusikan bagaimana
perasaannya jika mereka memiliki karakter seperti yang digambarkan dalam puisi
atau dapat berupa membayangkan apa yang akan dikerjakan oleh tokoh dalam puisi.
(6) Kegiatan menggambar. Siswa membuat gambar yang berkaitan dengan tokoh-tokoh
yang ada dalam puisi. (7) Kegiatan role
play. Siswa melakukan kegiatan bermain peran dengan berlaku seperti
layaknya tokoh-tokoh yang ada dalam puisi. Kegiatan ini menghendaki siswa
berpikir dan berperan dalam kaitannya dengan tema puisi. (8 ) Kegiatan menulis
surat. Kegiatan selanjutnya ialah kegiatan merespon puisi dengn cara mengirim
surat kepada tokoh yang ada dalam puisi, memberi saran kepada tokoh, atau
membuat catatan tentang tokoh. Dengan
kegiatan menulis ini, siswa menempatkan diri dalam situasi puisi.
Penutup
Pada
dasarnya penggunaan strategi formeaning response ini bertujuan memberikan dua kecakapan. Kecakapan pertama yaitu memberikan
kemampuan kepada siswa untuk mengobservasi bahasa karya sastra yang dibacanya. Kegiatan
ini dapat menuntun siswa kepada pemahaman yang lebih baik terhadap kiat
sastrawan dalam memanfaatkan bahasa sebagai sarana pengungkap makna. Kecakapan kedua yaitu
kemampuan merespon teks yang dibaca berdasarkan pengalaman sebelumnya,
persepsi, imajinasi, dan bahkan juga harapan-harapannya. Dengan demikian, guru dapat menggunakan strategi ini dengan
langkah-langkahnya di dalam kelas. Apabila strategi ini dilakukan tidaklah
menjadi keniscayaan terdapat peningkatan
kemampuan berbahasa dan kemampuan mengapresiasi karya sastra pada diri siswa.
Daftar Pustaka
Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press
Cummings, M. dan R. Simmons. 1986. The Language of Literature. England: Pergamon
Press
Ltd.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia.
Kellem, Harlan. 2009. The Formeaning Response Approach: Poetry in
the EFL Classroom.
English Teaching Forum 47 (4): 12—17.
Nurhayati.
2008. Stilistika: Teori dan Aplikasinya.
Palembang: Universitas Sriwijaya.
Probst,
Robert E.. 1988. Response and Analysis.
Teaching Literature in Junior and Senior High School. Portsmouth, NH: Heinemann Educational Books,
Inc.
Putubuku.
2009. “Membaca” sang Pembaca. Tersedia di iperpin.wordpress.com/2009/03/20/membaca-sang-pembaca/
diakses tanggal 5 Februari 2010.
Ratna
Trieka Agustina. Respon Pembaca sebagai Strategi Membaca Cerita Sastra di Sekolah Dasar. Wahana Sekolah Dasar (Berkala), Vol. 11, No. 1 (2003). Tersedia di journal.un.ac.id./index.php/wahana-sekolah-dasar/…/2013
diakses tanggal 5 Februari 2010.
Ross,
C.S. (2005), “Reader response theory”, dalam Theories of Information Behavior, Fisher, K.E, Erdelez, S. dan
McKechnie, L. (ed.), Medford : Information Today, hal. 303 – 307.
Rudy, Rita Inderawati. 2005. Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam
Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD Negeri
ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sanidu. 2007. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta:Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada.
Turner, G. W.
1975. Stylistics. Great Britain:
Hazell Watson & Viney Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar