Senin, 01 Agustus 2011

Mantra Masyarakat Melayu Bangka: Tinjauan dari Aspek Makro dan Mikro


Abstrak: Mantra merupakan salah satu tradisi lisan yang tetap bertahan sampai sekarang di Masyarakat Bangka. Mantra digunakan untuk berbagai keperluan misalnya mantra untuk pengobatan,  pelindung diri, pekerjaan, dan mantra adat istiadat. Dari aspek makro, keberadaan mantra dalam masyarakat Bangka merupakan perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Penggunaan mantra dalam masyarakat Bangka berkaitan dengan pola hidup masyarakat yang masih sangat dekat dengan alam. Hal ini dilihat dari beberapa tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan seperti upacara rebo kasan dan upacara buang jong. Tradisi-tradisi ini menggunakan mantra. Dari aspek mikro, mantra dapat dilihat dari aspek struktur dan bahasa yang digunakannya. Dari aspek struktur, mantra tersusun atas unsur-unsur yang membentuk kesatuan struktur. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami.  

Kata-kata kunci: mantra, tradisi masyarakat Bangka

Pendahuluan
            Mantra merupakan bagian sastra lisan yang pada dasarnya hidup tidak hanya di daerah Bangka (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Semua daerah yang memiliki sastra lisan daerah memiliki bentuk mantra. Hal ini ditandai dengan beberapa penelitian yang menguatkan adanya kehadiran mantra di berbagai daerah. Sebut saja penelitian Tamsin Medan (1975) terhadap mantra Minangkabau dan Siti Salamah Arifin (1991) terhadap sastra lisan Palembang (di dalamnya termasuk mantra). Begitu juga Saputra (2007) yang menggali keberadaan mantra di masyarakat Using Banyuwangi. Bahkan Hermansyah pada tahun 2006 meneliti ilmu (sebutan untuk mantra) untuk keperluan disertasinya.   
            Sebuah mantra pada dasarnya menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri. Mantra digunakan sebagai alat dalam usaha membujuk dunia misteri (dunia gaib) dengan tujuan agar mau atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia yang mengucapkannya (Yunus, 1981:214). Adanya kebutuhan untuk berintegrasi dan berhubungan dengan alam “lain” dalam hubungan vertikal menyebabkan munculnya bentuk bahasa yang dikenal mantra ini.
            Mantra oleh masyarakat Bangka disebut juga sebagai jampi-jampi merupakan salah satu tradisi lisan yang tetap bertahan sampai sekarang. Tulisan ini membicarakan mantra dari aspek makro dan mikro. Dari aspek makro,  mantra dapat dilihat dari dimensi sosial budaya yang melatari kehadirannya dan dinamika mantra dalam kehidupan masyarakat Bangka. Dari aspek mikro, mantra dapat dilihat dari unsur  struktur dan bahasa yang digunakan.
           
Jenis-jenis Mantra
            Mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuannya yaitu: (1) mantra untuk pengobatan, (2) mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri, (3) mantra untuk pekerjaan, dan (4) mantra adat-istiadat (http://melayuonline.com).
            Bentuk berikut bukan hanya permainan kata atau bunyi tanpa makna. Bentuk ini diyakini masyarakat Bangka memiliki kekuatan yang dapat menyembuhkan sakit pinggang pada anak kecil.

Mantra Pengobatan
Selunak sekareh
Selunak sekareh
Temiang mati pucok,
Kurak mati peleh,
Kurasok busok
Ati mati
Berulang ilang
Bejantong ngeluntong,
Pulang ente ke laut Sabarunei
Selunak sekareh
Selunak sekareh
Miang mati pucuk
Kura mati peleh
Rusuk busuk
Hati mati
Belulang hilang
Jantung lenyap
Pulang engkau ke laut Sabaruni

            Mantra berikut merupakan mantra seorang istri yang menginginkan rumah tangganya mantap dan suami sayang kepadanya.

Mantra ‘Pakaian’
Bismillahirrahmaannirrahiim
Aku duduk di bumi
Alam panitah
Sep ditesep dem dipadem
Ko madem lakiko yang igar
Ali lah namako
Ali isep namamu
Akulah dibenar Ali dan
Akulah dibenar Allah
Tang Ali kopandang Ali
Nginjek batu lagi mengilir
Lari nek ke mana ke lari
Langit sudah kulingkup
Bumi sudah kukeliling
Gedong cinta kaseh
Berdiri lakiko kaseh
Kaseh pada aku sendiri
Berkat ngucap Laailaahaillallah
Muhammadurrasulullah
Bismillahirrahmaanirrarahiiim,
Aku duduk dibumi
Alam bertitah
Pan disimpan dam dipadam
Kupadamkan suamiku yang genit
Alilah namaku
Ali isap namamu
Akulah dibenar Ali dan
Akulah dibenar Allah
Tang Ali kupandang Ali
Menginjak batu lagi menghilir
Lari mau ke mana kau lari
Langit sudah kulingkup
Bumi sudah kukeliling
Gedung cinta kasih
Berdiri suamiku kasih
Kasih pada aku sendiri
Berkat mengucap Laailaahaillallah
Muhammadurrasulullah

            Berikut ini satu contoh mantra yang sering dibaca oleh suku Laut ketika mereka melempar pancing ikan ke dalam air.
Air pasang telan ke insang,
Air surut telan ke perut,
Renggutlah,
 Biar putus jangan rabut (dikutip dari http://melayuonline.com).
            Sementara itu, untuk menolak bala secara individual digunakan mantra berikut.

Mantra Menolak Bala
Tebu item tumbuh di ruat
Selasih tumbuh di batu
Tuju tikam
Urang dak keliat
Baleik segala tuju
Bukanku maleik tuju
Allah yang meleikkan tuju
Ayam burik ayam kelabu
Ngambur ke tengah lamen
Baleik segale tuju
Baleik seneng
Berarti nyamen
Tebu hitam tumbuh di ruat
Selasih tumbuh di batu
Tuju tikam
Orang tidak terlihat
Kembali segala tuju
Bukan aku kembalikan tuju
Allah yang kembalikan tuju
Ayam burik ayam kelabu
Menghambur ke tengah halaman
Kembali segala tuju
Kembali senang
Berarti nyaman

            Mantra menolak bala selain dilakukan secara individual, di daerah tertentu di Bangka dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan berbagai elemen masyarakatnya. Misalnya, tradisi acara taber laut (sedekah laut) atau rebo kasan dilakukan di Pantai Tanjung Berikat yang terletak di Desa Batu Beriga Kecamatan Koba Bangka Tengah. Upacara adat pantai merupakan upaya perwujudan syukur masyarakat yang pada umumnya nelayan atas dilimpahi hasil laut yang didapat dan acara dilaksanakan setiap tahun. Adat tersebut pada dasarnya hampir sama dengan di beberapa daerah lain di Indonesia (bangkatengahkab.go.id).
            Pada acara taber laut tersebut dukun membacakan mantra-mantra dengan menyalakan dupa. Setelah itu, dukun menuju ke laut dan menaburkan daun pandan yang sudah diiris-iris kecil.  Di pihak lain, terdapat tradisi buang jong (kapal kecil) di daerah Batu Belubang Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah. Jong disiapkan oleh masyarakat yang di dalamnya berisi kepala kambing, bunga-bungaan, dan makanan. Jong lalu diantar beramai-ramai oleh sekitar 20 perahu besar ke tengah laut. Dukun melepaskan jong itu ke tengah laut dan membacakan mantra-mantra. Kemudian dilakukan doa oleh pemuka agama agar ikan banyak dan nelayan sejahtera.[1] 

Mantra: Tinjauan dari Aspek Makro
            Ada hubungan yang erat antara makrokosmos dan mikrokosmos. Ada pertalian antara alam yang luas dan gaib dengan alam yang kecil dan lahir. Akibatnya, timbullah kata-kata yang tabu apabila diucapkan. Menurut Tamsin Medan  (1975:22) pengertian kata-kata yang dianggap tabu tersebut merupakan makrokosmosnya sedangkan kata-kata itu sendiri menjadi mikrokosmosnya.
            Masyarakat Melayu Bangka mengakui adanya keselarasan hubungan mikrokosmos dan makrokosmos (bandingkan Saputra, 2007:347). Masyarakat Bangka (terutama orang-orang tua dan yang tinggal di pedesaan) masih percaya dengan adanya gejala keterkaitan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Apabila masuk ke dalam hutan, adalah tabu jika seseorang menyebut kata babi (perusak tanaman). Apabila kata itu diucapkan, babi justru akan datang. Sebagai ganti kata babi, digunakan enduk ante (induk hantu). Untuk menyapa penunggu hutan digunakan kata Nek/Atok. Dengan demikian, kalimat yang berbunyi ‘Neq keq Atoq jangan ganggu, cucuq neq liwat’ digunakan apabila seseorang  memasuki hutan. Kalimat  tersebut diucapkan untuk meredam kemungkinan diganggu jin/makhluk halus yang terdapat di dalam hutan. Makhluk halus tersebut sudah diakrabi dengan ikatan Nek/Atok dan Cucu. Apabila orang tersebut ingin menebang pohon di hutan ia mengucapkan ‘Neq  Atoq jangan ganggu, cucuq neq nyari makan.’ Hal ini berarti orang tersebut permisi kepada makhluk halus penjaga hutan atau yang tinggal di hutan agar tidak diganggu oleh makhluk halus/penjaga hutan. Tradisi mengucapkan mantra di atas disebut dengan neratap.[2] 
            Masyarakat Bangka juga masih percaya terhadap fenomena tabu. Dianggap tabu menyebut orang sedang bekerja dengan mengaitkannya kepada makanan yang diperuntukkan kepada orang tersebut. Gantinya harus digunakan kata ular. Dengan demikian, akan muncul kalimat berikut ‘Min, anterken buq ni keq ular di kebun.’ (Min, antarkan nasi ini untuk (si Fulan) di kebun.
            Pada sisi lain, Halliday (dikutip Santoso, 2011) mengemukakan bahwa sebuah teks dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi. Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dengan demikian, kajian terhadap mantra sebagai salah satu sastra lisan tidak terlepas dari kajian konteks situasi dan konteks budaya masyarakat pemiliknya yaitu masyarakat Melayu Bangka.
            Saputra (2007:343) menyebut fungsi sosial mantra sebagai pranata sosial tradisional atau pranata budaya lokal. Lebih jauh Saputra (2007:9) mengemukakan mantra merupakan doa sakral yang mengandung kekuatan magi dan berkekuatan gaib yang dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Hal itu tidak berbeda jauh dengan kepercayaan masyarakat Melayu Bangka.  Keberadaan mantra dalam masyarakat Bangka Belitung merupakan perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Mantra tersebut sebagai bagian dari ‘doa’. 
            Penggunaan mantra dalam masyarakat Bangka Belitung berkaitan dengan pola hidup masyarakat yang masih sangat dekat dengan alam. Hal ini dilihat dari beberapa tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan seperti upacara rebo kasan dan upacara buang jong seperti yang diutarakan di atas.
            Masyarakat yang dulu, percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini bersumber dari akibat pengaruh keberadaan roh dan mahluk halus. Dengan demikian bila terjadi suatu penyakit, kemalangan, musibah dan lain sebagainya “dukun” atau sebutan lainnya menjadi tempat pertama untuk dituju (http://melayuonline.com)
            Bagi masyarakat Bangka tertentu mantra/jampi dipercaya keampuhannya. Hal tersebut seirama dengan keyakinan masyarakat tertentu (umumnya di pedesaan). Akan tetapi, dari penelitian yang dilakukan Zainona (1991), sebagian masyarakat yang tinggal di kota pun masih percaya keampuhannya. Wawancara yang dilakukan penulis kepada  pemuka masyarakat Bangka juga menguatkan hasil penelitian Zainona tersebut. Dari wawancara dapat diketahui bahwa orang Bangka yang masih percaya kepada jampi-jampi umumnya masyarakat yang hidup di desa-desa dan orang-orang tua kendati mereka hidup di kota.  
            Penggunaan mantra bukan hanya terbatas kepada orang dewasa dan dilakukan oleh dukun/pawang saja. Anak kecil pun diajari untuk tidak buang air berdekatan dengan anak yang lain karena akan menyebabkan salah satu meninggal bila bersentuhan. Untuk mencireni kedekatan tersebut ditandai dengan rentangan sebelah tangan. Bila menyentuh yang lain, sebagai penangkalnya salah satu harus menyebut ku langit dan yang lain ku bumi. Kemudian, yang menyebut ku langit berludah ke bawah sedangkan yang menyebut ku bumi berludah ke atas.
            Dari uraian terdahulu penggunaan mantra bukan hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan juga oleh masyarakat secara kolektif. Selain itu, mantra bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan pula diucapkan dan ditanamkan kepada anak-anak. Penggunaan mantra-mantra tersebut merupakan kebiasaan turun temurun yang sudah mentradisi. Menurut Danandjaya (1986:1) tradisi adalah kebudayaan yang diwarisi turun temurun sedikitnya dua generasi yang diakui masyarakat sebagai milik bersama.
            Sementara itu, proses penurunan mantra (untuk mantra-mantra pengobatan) tidak dapat diturunkan kepada sembarang orang. Orang yang mempunyai ikatan keluarga akan lebih diprioritaskan mendapatkannya. Terutama mantra-mantra yang dianggap “berat” misalnya untuk menyembuhkan patah tulang. Walaupun demikian, yang memiliki bakat saja yang akan mendapat warisan ini.    
                                                                                                         
Mantra: Tinjauan dari aspek Mikro
            Dari aspek struktur, secara konvensional struktur mantra tersusun atas enam unsur yang membentuk kesatuan struktur. Unsur-unsur tersebut  yakni unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan, dan unsur penutup (Saputra, 2007:348).